Saya mempunyai beberapa media sosial. Saya sangat suka melihat isi timeline media sosial saya setiap hari. Entah itu kabar berita dari teman-teman di media sosial atau apapun yang dishare di sana. Saya suka memberi like saat teman-teman mengupload foto anak-anaknya yang lucu, walaupun saya sendiri memutuskan untuk tidak memposting gambar anak-anak saya. Saya bahagia melihat teman-teman mengupload kebersamaan dan kebahagiaan mereka dengan pasangannya, meskipun saya tak pernah sekalipun mempublikasikan pasangan saya di media sosial.
Namun, terkadang orang lain berpikiran berbeda dengan apa yang kita pikirkan. Saat mereka tak pernah melihat saya mengupload foto liburan seperti kebanyakan orang, maka ada saja yang berpikir "pasti dia ini pelit, gak pernah liburan". Atau saat saya tak pernah memposting foto selfie di depan setir mobil, ada juga yang akan berpikir "kasian, sampai sekarang dia belum punya mobil." Tidak sedikit yang berpikir "hidupnya pasti membosankan!".
Ya, itulah pilihan di dunia maya. Saya tidak memposting, bukan berarti saya tidak menyukai postingan status orang lain yang seperti itu. Saya suka melihat kebahagian dibagikan, tetapi saya sendiri tidak melakukannya karena itulah pilihan saya di dunia maya. Demikian pula orang yang memilih untuk memposting setiap moment kebahagiaannya, itulah pilihannya di dunia maya. Dan setiap orang punya penilaian masing-masing atas pilihan tersebut. Ada yang berpikiran bahwa yang suka memposting setiap hal dalam hidupnya adalah orang yang "suka pamer", dan ada juga yang berpikir bahwa orang yang tidak pernah memposting kehidupannya karena tidak memiliki sesuatu yang menarik untuk diperlihatkan. Ya, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk memiliki pemikiran yang sama dengan kita.
Kembali lagi, semua adalah pilihan kita masing-masing, mau menjadi seperti apa dan bagaimana di dunia maya. Tidak perlu saling menyindir, bila tak suka tak perlu dilihat. Nah, pilihan kalian di dunia maya seperti apa, gaes???
Lilin Peri Kecil
Senin, 13 Januari 2020
Selasa, 31 Desember 2019
Maryam dan Suster Anna Maria (Sebuah Kisah di Penghujung Tahun)
Suasana terminal sore itu begitu ramai. Para penumpang hilir mudik menaiki dan menuruni bus. Sebuah bus yang berhenti di terminal itu telah selesai menurunkan seluruh penumpang yang kini telah beranjak mencari jalan tujuannya masing-masing termasuk seorang perempuan yang sedang berjalan dengan tas punggungnya dan hendak mencari angkutan kota. Saat tengah asik berjalan tiba-tiba ia terkaget dan menengok ke arah belakangnya.
"Aww... Aduh... Jambreettt." Seorang wanita paruh baya sedang tersungkur di tanah. Nampak seorang pria baru saja mendorong wanita itu dan lari membawa tas jinjing yang dibawanya.
"Ibu tidak apa-apa?" Perempuan tadi segera mengangkat tubuh wanita paruh baya itu, dengan sigap ia memeriksa gamis panjang berwarna putih bis abu-abu yang dikenakannya, seumpama ada yg robek dan menimbulkan luka di tubuh wanita paruh baya itu.
"Tidak apa-apa Nak. Terima kasih Nak, kamu..."
"Ibu tunggulah sebentar di sini ya, tolong pegangkan tas saya." Belum selesai wanita paruh baya itu berbicara, gadis tadi langsung berlari ke arah penjambret tadi berlari. Ia mengejarnya.
"Hei Nak jangan!!!" Wanita paruh baya itu mencoba menahan kepergian gadis itu, namun usahanya sia-sia.
"Heiiiii jambreeetttt berhenti kau! Kembalikan tas ibu itu." Gadis itu terus mengejar penjambret yang kini telah memasuki sebuah gang kecil. Ia terus berlari tanpa peduli gamis dan hijab panjangnya menyapu debu-debu di jalanan itu.
Gadis itu berhenti saat melihat sebuah balok di pinggir jalan. Diraihnya balok itu dan langsung dilemparkan ke arah penjambret itu.
Buuukkkk!!! Balok itu pas mengenai punggung hingga kepala penjambret itu dan membuatnya terhuyung. Gadis itu segera meraih tas jinjing dari tangan penjambret itu, namun dengan cepat pria itu mencoba menahannya. Tarik menarik pun terjadi, hingga akhirnya pria itu maju dan mendorong tubuh gadis itu.
"Aww... Aduh!" Gadis itu tersungkur di tanah berbatu, ia mendarat dengan lutut hingga gamisnya tersobek dan tembus menciderai tumitnya.
Namun tak pakai lama ia segera bangkit dan kembali menerjang pria yang sudah bersiap untuk lari lagi.
"Toloooongggg. Ada jambreeetttt!" Gadis itu berteriak sambil terus memegangi baju pria itu.
Beberapa pria yang sedang duduk di sebuah warung kopi tak jauh dari tempat gadis dan pria itu berjibaku mendengar teriakan gadis itu. Mereka segera berlari ke arah datangnya suara dan mendapati adegan tarik menarik dan dorong mendorong antara seorang pria dan seorang perempuan. Pria penjambret itu berusaha melepaskan dirinya dari tarikan gadis itu namun gagal, sekelompok pria tadi sudah meringkusnya.
"Heh jambret ya kamu. Berani benar kamu ya!" Seorang pria memukul wajah penjambret itu.
"Aduh, ampun Pak." Penjambret itu kesakitan.
"Jangan dipukul Pak, lebih baik langsung dibawa ke kantor polisi."
"Oh iya Neng, tapi Neng gak apa-apa ya? Terus barang Neng yang dijambret bagaimana?"
"Ini Pak, tas yang dijambret ini, tapi ini bukan punya saya. Ini punya ibu-ibu di terminal. Akan saya kembalikan padanya." Gadis itu sudah menggendong tas jinjing itu.
"Nak... Kamu baik-baik saja? Astaga. Ya Tuhan, apa kamu terluka?" Suara wanita paruh baya membuat semua orang yang ada di situ berpaling padanya.
"Ibu kok bisa sampai ke sini? Saya kan meminta ibu untuk menunggu di sana tadi."
"Ibu tadi berjalan mengikuti arahmu berlari. Syukurlah ibu menemukanmu. Ibu sangat kuatir terjadi apa-apa padamu, makanya ibu berusaha mengejarmu supaya bisa memintamu berhenti mengejar penjambret itu."
"Saya baik-baik saja kok Bu. Ini tas ibu, dan saya akan mengambil tas saya lagi. Terima kasih Ibu sudah memegangkannya."
"Kalau begitu Neng dan Ibu ikut ke kantor polisi karena di sana pasti polisi akan minta keterangan dari kalian." Kata salah seorang pria yang menangkap penjambret tadi.
***
Di kantor polisi mereka semua telah selesai memberikan keterangannya. Gadis dan wanita paruh baya itu kini duduk berdua di ruang tunggu kantor polisi itu.
"Nak coba Ibu lihat lututmu, sepertinya gamismu sobek." Wanita paruh baya itu segera memegang lutut gadis itu dan benar saja gamisnya robek, dan nampak terlihat sebuah luka goresan di lututnya.
Wanita itu pun berlalu ke dalam ruangan kantor polisi itu dan kembali dengan membawa sekotak alat P3K. Dengan telaten diambilnya kapas dan dibersihkannya luka gadis itu lalu diperbannya dengan sentuhan lembut. Hal itu bukanlah hal yang sulit baginya karena kesehariannya ia sudah terbiasa mengurusi orang sakit saat sedang bertugas memberi pelayanan di rumah sakit.
"Siapakah namamu Nak? Mengapa kau menolongku hingga harus mempertaruhkan keselamatanmu sendiri? Apalagi... Kau pasti tahu diriku ini siapa?"
"Maryam. Namaku Maryam. Saya menolong tanpa pernah melihat siapa yang saya tolong. Kedua orang tuaku selalu mengajarkan hal itu. Saya selalu takut bila kehilangan barang karena untuk mendapatkannya tak mudah, makanya saya selalu tidak suka bila melihat ada orang yang mengambil milik orang lain. Saya tahu, ibu seorang suster biarawati?" Maryam berkata sembari mengamati dengan seksama gamis dan kerudung yang dikenakan wanita paruh baya itu lengkap dengan sebuah kalung Rosario yang melingkar di lehernya.
"Maryam? Sungguh nama yang indah, seindah hati dan perilakumu. Iya benar, Ibu adalah seorang suster biarawati. Nama saya Suster Anna Maria."
"Ibu suster mau kemana? Mengapa berjalan seorang diri?"
"Seharusnya Ibu datang ke sini bersama teman-teman Ibu kemarin, tetapi karena masih ada yang harus Ibu kerjakan jadi teman-teman Ibu berangkat duluan, dan Ibu baru bisa hari ini. Kami akan menghadiri misa malam tahun baru di kota ini malam ini. Tapi mungkin inilah yang namanya rencana Tuhan, takdir Ilahi bahwa kita akan bertemu dengan kejadian ini. Dan kamu sendiri, mau kemanakah Maryam?"
"Maryam sedang libur kuliah, jadi mau liburan di rumah Mbak saya di kota ini."
"Oh kamu masih kuliah ya. Ehh tunggu sebentar, gamismu sobek." Suster Anna Maria lalu membuka tasnya dan mengambil sebuah dompet kecil, dibukanya dan nampaklah segulung benang hitam dan sebuah jaruh tertancap di situ. Suster Anna Maria mulai menjahit gamis Maryam yang sobek.
"Terima kasih Ibu Suster." Maryam berdiri mencoba meluruskan gamisnya untuk melihat hasil jahitan Suster Anna Maria. "Aduh aww." Kaki Maryam terasa keram, mungkin karena tadi dia lari sekuat tenaga hingga otot-otot kakinya menegang.
"Kau kenapa Nak? Astaga kakimu pasti sakit karena berlari mengejar penjambret tadi." Suster Anna Maria menengok ke sana kemari. Kantor polisi itu memang sudah tampak sepi, hanya ada seorang polisi di dalam ruangan pemeriksaan tadi dan beberapa orang yang menjaga di luar.
"Duduklah, lepaskan sepatumu dan luruskan kakimu di bangku ini Maryam." Suster anna Maria berkata setelah memastikan tak ada orang di situ.
Maryam pun mengikuti perintahnya, lalu biarawati itu menaikkan sedikit gamis Maryam dan menggulung celana panjang di dalam gamis itu. Diambilnya minyak gosok yang ada di tasnya, di tuangkan ke tangannya lalu mulai memijat kaki Maryam mulai dari pergelangan hingga ke betisnya. Maryam mendesis pelan saat ada rasa nyeri yang dirasakannya, namun sesaat kemudian dirasakannya otot-otot kakinya mulai merenggang kembali. Kini kedua kaki Maryam telah selesai dipijatnya. Biarawati itu kembali merapikan pakaian Maryam lalu membimbingnya untuk kembali duduk. Sesaat kemudian terdengar suara adzan maghrib berkumandang.
"Sudah maghrib, Maryam mau sholat maghrib dulu di mushola samping kantor ini ya Bu Suster." Maryam berkata yang disertai anggukan dari Suster Anna Maria.
Maryam kemudian berdiri, namun saat akan berjalan ia masih merasakan sedikit keram yang masih tersisa.
"Aww..."
"Keramnya belum akan hilang sekarang, tapi setelah kakimu kau istrahatkan Nak."
"Tapi saya harus berjalan ke mushola itu Bu."
"Saya akan membantumu Nak." Suster Anna Maria berdiri di samping Maryam, mengangkat tangannya dan menaruh di pundaknya. Biarawati itu memapah Maryam berjalan hingga ke mushola itu. Membantunya saat berwudhu lalu mengantarkan hingga Maryam memasuki mushola. Maryam pun menunaikan shalat magribnya, sementara sang Suster menunggunya di luar. Setelah selesai, kembali lagi dilakukannya hal yang sama, memapah Maryam ke ruang tunggu kantor polisi itu.
Maryam kembali duduk di bangku dan hendak memakai kembali sepatunya. Namun ia terhentak saat mendapati alas sepatunya kini jebol.
"Astagfirullah.... Ya Allah, bagaimana ini, sepatuku jebol." Maryam memandang penuh ratap sambil mengangkat sepatu kanannya.
Suster Anna Maria pun memandangi sepatu itu. "Rupanya akibat kamu berlari terlalu kencang tadi bukan hanya kakimu yang keram, tapi sepatumu juga Nak."
"Ini sepatu Maryam satu-satunya, sepatu yang menemani saat kuliah dan kemanapun. Bagaimana saya memberitahu bapak dan ibu untuk membeli sepatu baru. Ya Allah, Engkau tahu bapak dan ibu hanya buruh tani dan guru mengaji, harus mengumpulkan uang beberapa bulan dulu untuk membelikanku sepatu baru, apalagi kemarin baru saja membayar SPP-ku." Maryam berkata dengan masih meratapi lubang di alas sepatunya itu.
Suster Anna Maria masih mengamati Maryam dan sepatunya itu. Dia kemudian tersenyum dan bergerak membuka tas jinjingnya. Diambilnya sebuah kotak dari dalamnya yang nampak seperti kotak sepatu. Ya, itu memang sebuah kotak sepatu karena di luarnya nampak sebuah tulisan merek sepatu itu. Sebuah merek sepatu terkenal dan dari kotaknya yang kokoh terlihat bahwa sepatu itu original.
"Berapakah nomor kakimu Nak?"
"38 Bu."
"Wah kok bisa sama ya. Maryam ambillah ini untuk mengganti sepatumu yang sudah rusak itu."
Maryam memandangi kotak sepatu itu, sesaat dia menerimanya lalu membukanya. Sungguh Maryam terkejut melihat sepatu sneaker berwarna putih bergaris abu-abu itu. Sepatu original bermerek ternama itu sungguh sangat bagus.
"Tidak Bu, Maryam tidak bisa menerima ini. Sepatu ini sangat mahal. Menabung setahun pun belum tentu bisa ku beli. Ibu suster pasti telah bersusah payah mengumpulkan uang untuk membeli sepatu ini."
Suster Anna Maria tertawa kecil. "Maryam, apakah kau lupa bahwa dirimulah yang telah berjuang untuk menyelamatkan tasku itu. Sesungguhnya tadi lebih ku ikhlaskan tas itu diambil oleh penjambret itu dari pada melihat seorang gadis harus berlari dan berjibaku dengan seorang penjambret. Namun Tuhan sudah menggariskan takdir pertemuan kita hari ini melalui kejadian itu. Sepatu ini diberikan oleh seorang umat sebagai hadiah tahun baru saat aku hendak berangkat. Karena sudah terburu-buru, tak sempat lagi ku masukkan ke dalam kamar asrama biara, jadi ku bawa ke dalam tas ini. Sesungguhnya takdir pertemuan kita telah membawa sepatu ini pada pemilik sebenarnya. Ini dari Tuhan melalui umat baik yang memberikannya padaku untuk kemudian ku sampaikan padamu. Mengapa sepatu ini lebih pantas menjadi milikmu? Karena kau akan memakai sneaker ini setiap hari, sedangkan saya, mungkin hanya memakainya saat berolahraga saja. Sepatu olahraga saya sudah cukup banyak di biara dan semuanya pemberian dari umat. Sekarang ini adalah milikmu, ambillah."
Suara lembut Suster Anna Maria membuat mata Maryam nampak berkaca. Gadis polos nan baik hati itu mendapat hikmah tersirat dari kejadian hari ini. Dia hanya mencoba untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama dan nasehat orang tuanya. Senantiasa menolong tanpa memandang apapun, semua dilakukan tanpa pamrih semata-mata hanya untuk Allah. Namun Allah tak pernah tidur, Ia selalu melihat dan mendengar. Allah telah mengirimkan sepatu baru untuknya melalui Suster Anna Maria. Orang yang tak dikenalnya, bahkan mungkin tak pernah terlintas di benaknya akan berinteraksi dengan seorang biarawati. Dipandanginya lagi sneaker baru yang ada di tangannya. Sebenarnya sepatu yang dikenakannya tadi memang sudah usang, namun Maryam takut untuk memberitahu orang tuanya. Ia takut menambah beban mereka karena biaya semesterannya saja sudah cukup menguras tabungan mereka. Ia pun tak mau meminta pada kakaknya, Mbak Nur. Selama ini Mbak Nur sudah membantu membayar biaya kosnya. Lagipula penghasilan suami Mbak Nur sebagai karyawan pabrik tak seberapa, mereka punya dua orang anak yang masih SD. Maryam masih mempertahankan memakai sepatu itu, sambil terus berdoa kepada Allah agar diberikan jalan rejeki untuk bisa memiliki sepatu baru. Dan hari ini doanya telah diijabah, tentu saja dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah.
"Alhamdulillahi rabbil 'alamin." Maryam mengarahkan kedua tangannya kepada Suster Anna Maria, yang kemudian disambut hangat dan menjadi sebuah pelukan. Mereka berdua berpelukan beberapa saat hingga sebuah suara mengagetkan dan membuat mereka berpaling ke arah suara itu.
"Maryam."
"Mbak Nur. Syukurlah Mbak Nur sudah datang."
"Kamu tidak apa-apa kan? Mbak panik waktu kamu telepon tadi dan bilang lagi di kantor polisi. Mana Mas Agus belum pulang kerja, jadi Mbak naik taksi online, jam segini kan macet jadi ini Mbak baru sampai. Gimana pemeriksaannya di polisi tadi?" Mbak Nur kakak Maryam datang untuk menjemput Maryam.
"Maryam tidak apa-apa Mbak, hanya luka lecet saja. Pemeriksaannya sudah selesai, paling nanti kalau diperlukan informasi tambahan baru dihubungi lagi sama polisinya."
Mbak Nur lalu melihat ke arah wanita yang berdiri di belakang Maryam. Maryam menangkap sorot mata tanya dari kakaknya.
"Mbak ini Ibu Suster Anna Maria. Ibu suster ini yang tadi dijambret."
Suster Anna Maria mengulurkan tangannya dan disambut oleh Mbak Nur.
"Maryam sudah menolong saya." Suster Anna Maria berkata sembari tersenyum. Mbak Nur pun membalas senyumannya.
"Kalau begitu ayo kita pulang sekarang, hari sudah malam." Mbak Nur berkata pada Maryam.
"Mbak bisakah kita mengantarkan Ibu Suster ke gerejanya dulu?"
"Maryam, tak perlulah mengantarkan ibu, nanti ibu bisa naik taksi sendiri."
"Tidak Ibu Suster, Ibu Suster tak boleh naik taksi sendiri, jangan sampai di jalanan ada penjambret lagi."
Wajah tegang Maryam membuat Suster Anna Maria tertawa.
"Tadi Ibu Suster sudah mengantarkan Maryam menunaikan shalat maghrib. Sekarang biarkanlah Maryam mengantarkan Ibu Suster ke gereja. Bukankah malam ini Suster akan mengikuti ibadah malam tahun baru?"
Suster Anna Maria kemudian menganggukkan kepalanya. "Baiklah Nak. Kamu memang gadis yang sangat baik. Sungguh...sepanjang tahun 2019, hari ini adalah hari terindah yang ku lalui dan cerita hari ini akan ku abadikan di buku harianku sebagai kenangan di penghujung tahun."
"Buku harian? Hmmm... Kalau Maryam akan menuliskan cerita ini di komunitas menulis online yang Maryam ikuti. Semoga saja banyak yang membacanya, like dan komentar. Tapi kalaupun tak ada yang membacanya ya tak apalah, yang pasti cerita hari ini akan selalu ada di hati Maryam."
Mereka bertiga kemudian beranjak keluar dari kantor polisi itu dan menumpangi sebuah taksi online. Taksi itu melaju hingga sampai di depan sebuah gereja. Nampak sudah banyak umat yang memasuki gerbang gereja itu. Suster Anna Maria turun dari taksi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada Maryam dan Mbak Nur. Ia pun melangkahkan kakinya menuju gerbang gereja sampai ia menghentikan langkahnya karena mendengar suara seseorang memanggil namanya dari belakang.
"Ibu Suster... Tunggu!" Maryam berjalan dengan sedikit tertatih mendekati biarawati itu. "Bolehkah kita berpelukan lagi sebelum berpisah?"
"Ya tentu saja boleh Anakku." Suster Anna Maria membuka lebar tangannya dan membiarkan Maryam masuk ke dalam pelukannya.
"Terima kasih Ibu Suster untuk kebaikanmu padaku hari ini."
"Terima kasih juga Maryam. Engkaulah yang telah memberikan kebaikan luar biasa hari ini. Namun dari segalanya, Tuhanlah yang Maha Baik telah mengijinkan hari ini terjadi."
"Subhanallah... Alhamdulillah. Segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah mengijinkan terjadinya hari ini."
"Selamat menyambut tahun yang baru Maryam, semoga berkat Tuhan selalu menyertaimu, membimbing langkahmu senantiasa pada kebaikan yang akan mengantarkanmu pada kebahagiaan sejati."
"Aamiin ya Rabbal 'alamin. Selamat menyambut tahun baru juga Ibu Suster."
Sebuah pelukan perpisahan pun akhirnya mengantarkan Suster Anna Maria memasuki gereja itu. Maryam sendiri telah menaiki kembali taksi online itu. Sebuah senyum manis mengembang di bibirnya. Dipeluknya kotak sepatu yang ada di atas pangkuannya yang di dalamnya berisi sepatu bututnya yang sudah jebol, karena isi asli kotak itu telah menjadi alas kakinya kini. 'Sepatu ini akan ku museumkan, tak akan ku buang, agar saat memandangnya, aku akan terus mengingat hal ini, menolonglah tanpa batas apapun, lakukanlah hanya karena dan untuk Allah.'
Mbak Nur hanya dapat diam memandangi adiknya yang cengar cengir. Seribu pertanyaan ada di benaknya, namun dia tak kuasa mengganggu adiknya yang masih berjibaku dengan alam pikirannya saat ini.
Sekian
Sabtu, 07 Desember 2019
Menolong Tanpa Batas? (Bagian 3)
Suamiku menatapku seolah bertanya “apa yang harus kita lakukan?”. Ku balas tatapannya seraya mengganggukkan kepalaku.
“Bukalah pintunya Pi. Ayo kita keluar menemui kakek itu.”
“Kamu yakin Mi?”
Ku jawab pertanyaan suamiku hanya dengan anggukan.
Ceklek... Suamiku membuka pintu rumah kami, dan kami berjalan keluar menemui kakek itu.
“Waalaikumsalam.” Aku dan suamiku serempak menjawab salam kakek tadi.
“Ibu... Bapak... Maaf mngkin Saya mengganggu waktu istirahat ibu dan bapak.” Kakek itu memulai percakapannya.
“Wah rupanya kakek yang datang. Tidak apa-apa kok Kek... Ada apa ya Kek?”, jawabku.
“Begini Ibu, apakah sisa uang yang kemarin saya minta sudah ada? Kemarin Ibu hanya memberi saya seratus ribu karena kemarin penghujung bulan Ibu sudah tak ada uang. Saya masih perlu dua ratus ribu lagi.”
“Ohh... Iya, Kakek duduklah dulu, biar ku buatkan minuman. Kakek pasti lelah.”
Ku persilahkan kakek itu duduk di kursi teras kami, suamiku pun turut duduk menemaninya. Ku serahkan puteriku pada suamiku lalu ku masuk ke dalam rumah membuat segelas teh hangat.
“Kakek minumlah dulu teh hangat ini, dan tunggulah sebentar. Kami mau keluar dulu, tak akan lama.” Kataku sambil meletakkan segelas teh hangat di atas meja.
“Iya Bu, terima kasih. Tapi benar Ibu tak akan lama kembali?”
“Iya Kek.”
Aku dan suamiku berlalu meninggalkan rumah kami dengan mobil kijang kapsul milik kantor suamiku yang dipinjamkan untuk kami pakai sehari-hari.
“Apakah kamu akan memberinya uang lagi Mi?” tanya suamiku dengan pandangan lurus ke depan sembari menggerak-gerakan setir di tangannya.
“Bukankah uang itu hanya titipan Allah Pi?”, jawabku datar.
“Tapi bulan ini uang kita tak berlebih.”, suamiku menimpali.
“Karena tak berlebih, uang yang kita miliki sekarang terasa sangat berharga. Bila kita berikan pada orang yang membutuhkan pertolongan bukankah nilai pahalanya lebih besar?”
“Lalu akan kau ambil dari pos belanja kita yang mana? Bukankah semua sudah pas?”
“Berdoalah agar kita sekeluarga selalu sehat Pi.”
---
“Kek, terimalah ini.” Kataku kepada kakek itu sembari menyerahkan dua lembar uang seratus ribu rupiah kepadanya.
“Alhamdulillah... Sekarang uang saya sudah genap. Terima kasih Ibu dan Bapak sudah menolong saya. Sekarang saya harus segera ke pelabuhan untuk mengirimkan uang ini untuk cucu saya yang kuliah di kota pulau sebelah. Saya pamit sekarang ya Bu, Pak.”
“Sama-sama Kek. Pertolongan ini sesungguhnya dari Allah, kami hanya perantara saja.”
“Alhamdulillah, semoga Bapak Ibu sekeluarga selalu diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Allah SWT.”
“Aamiin ya Rabbal’alamin.” Aku dan suamiku serempak menjawab.
Aku dan suamiku saling menatap dan saling tersenyum mengiringi kepergian kakek itu yang telah membawa dana cadangan yang ku anggarkan sebagai biaya kesehatan kami.
---
“Mbak, ini gaji Mbak Sima bulan ini.” Kataku kepada Mbak Sima sambil menyerahkan sebuah amplop putih di ruang tamu Mbak Sima saat aku hendak menjemput puteriku sepulang kantor sore itu.
“Bu...mengapa Ibu memberikan gaji saya? Saudara saya belum mengembalikan hutangnya, Ibu simpanlah dulu gaji saya sebagai jaminannya.”
“Ambillah Mbak, nanti kalau saudara Mbak Sima mengembalikan baru ku terima.”
“Tapi Bu... Belum ada kepastian dari saudara saya kapan dia bisa mengembalikan. Uang yang didapatkan suaminya kemarin dari pekerjaan menukangnya sudah terpakai untuk membeli kebutuhan anak-anaknya. Saudara saya bilang bulan ini kemungkinan belum bisa membayar, bilapun bulan selanjutnya bisa, mungkin belum bisa membayar penuh. Bolehkah dia mencicilnya Bu?”
“Tentu saja boleh Mbak. Bilanglah padanya untuk mencicil semampunya. Dan gaji ini adalah hak Mbak Sima, ambillah!”
“Baiklah Bu, nanti hutang saudara saya akan dibayar lebih, hitung-hitung sebagai bunga pinjamannya Bu.”
“Apakah kau melihat wajahku ini seperti lintah darat Mbak?”
“Hehe.. Maaf Bu.”
“Tak perlulah memakai bunga, apalagi yang meminjam adalah keluarga.”
Ya, Mbak Sima dan keluarganya sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri, apalagi kami adalah perantau yang tak punya sanak saudara di kota ini.
---
Hari ini adalah hari Sabtu di minggu ketiga bulan Desember, si Kakak terima raport. Suamiku yang pergi menerimanya.
“Mi...Kakak dapat juara satu.” Sebuah pesan whatsapp masuk ke telepon genggamku.
Ini berarti prestasi kakak meningkat karena di kelas satu kakak berada di posisi kedua.
“Assalamualaikum... Mi...lihat ini. Aku juara satu. Ye..ye..ye..ye...” Kakak berlari menghampiriku sambil membawa buku raportnya.
“Coba Ami lihat. Wah...nilai-nilai kakak bagus sekali.” Ku raih buku itu dan ku lihat satu-per satu angka yang tertera di sana.
“Berarti sebentar kita liburan kan Mi? Kita jadi nginap ke hotel kan Mi?”Kakak bertanya sembari menatap nanar kedua mataku.
Mendapat tatapan seperti itu, jantungku seketika berdegup kencang. Jawaban apa yang akan ku berikan pada puteraku. Kami sudah menjanjikannya liburan akhir semester ini sejak beberapa bulan yang lalu. Tapi kini kami sama sekali tak punya dana untuk itu.
“Kak...bisakah Kakak bersabar dulu? Saat ini Ami dan Api belum bisa mengajak Kakak menginap ke hotel. Insya Allah bulan depan, walau sudah tak libur semester, kita bisa pergi di akhir pekan.” Ku pegang kedua bahunya, berusaha meyakinkannya untuk setuju dengan perkataanku.
“Tidak! Ami dan Api sudah janji. Janji itu harus ditepati, tak boleh dilanggar.”
“Ami dan Api takkan melanggar, hanya saja belum sekarang.”
“Tidak!!! Aku tak mau bicara lagi.”
Puteraku yang berumur tujuh tahun itu seketika berlari meninggalkanku. Dia masuk ke dalam kamar, menutup pintunya dengan keras.
“Ya...Allah, ampuni hamba yang telah menyakiti hati putera hamba.” Bisikku di dalam hati.
“Sabar Mi, sebentar lagi ngambeknya pasti berhenti.” Suamiku menghampiriku dan mengusap punggung tanganku.
Cling...cling... Telepon genggamku berbunyi pertanda ada pesan whatsapp yang masuk.
Ku raih gawai yang tergeletak di meja dekatku berdiri dan ku buka isi pesan itu.
“Hai...Mentari. Job buat kamu lagi nih.. Please....bantuin aku ya. Tahun lalu bukan kamu yang handle aku kurang puas nih. Pokoknya kamu harus mau, tidak pakai tidak. File-file utama sudah aku email ke emailmu. Kalau kamu butuh data tambahan hubungi Nia saja ya, sekalian sambil tunggu data transaksi bulan ini. Aku kasih data lebih awal karena aku mau ke luar negeri sama keluargaku, baliknya sampai pertengahan bulan depan. Oh iya, fee-mu aku naikin ya, sekarang jadi enam juta. Sudah ku transfer ke rekeningmu yang biasa dua juta untuk uang muka. Ini bukti transfernya.”
“Subhanallah... Alhamdulillah...” Seketika ku ucapkan dua kata itu hingga membuat suamiku terkaget.
“Kenapa Mi?”, tanya suamiku.
“Bacalah ini Pi.”
Dini teman semasa kuliahku yang mengirimkan pesan whatssapp itu. Dia memiliki sebuah usaha fotocopy, percetakan dan penjualan alat tulis. Sudah beberapa tahun dia meminta bantuanku untuk mengaudit laporan keuangan perusahaannya itu. Kegiatan usahanya memang masih dilakukan dengan sistem akuntansi sederhana, sehingga dia membutuhkan bantuan auditor untuk memeriksa dan mengoreksi pencatatan yang ada untuk memperbaiki kinerja pelaporan usahanya serta untuk kepentingan pembayaran pajaknya. Aku memang bukanlah seorang auditor, hanya saja kemampuan akuntansiku bisa dibilang baik. Tahun lalu aku tak bisa membantunya karena saat itu aku masih sangat sibuk mengurus puteriku yang masih sangat bayi. Dan hari ini Dini menghubungiku, sungguh di luar dugaanku karena biasanya bila akan meminta bantuanku, Dini menghubungiku di awal tahun setelah tutup buku.
“Allah selalu bersama kita Mi.” Suamiku berkata padaku setelah membaca isi pesan itu. Matanya nampak berkaca-kaca.
Ku anggukkan kepala dan ku hambur tubuhnya dengan pelukanku. Bagaimana kami tak bahagia dan bersyukur, kami kini punya uang. Bukan hanya cukup untuk membayar sewa hotel itu, kami bahkan sekarang punya dana cadangan yang jumlahnya lima kali dana cadangan yang ku anggarkan kemarin dan telah ku berikan pada kakek itu.
---
“Surprise... Ye... Kakak kena prank!!!” Aku dan suamiku berteriak setelah membuka pintu kamar sambil membawa sebuah koper kecil.
“Maksudnya?”, si Kakak nampak kebingungan.
“Tadi itu Ami dan Api nge-prank Kakak. Sebenarnya hari ini kita akan liburan ke hotel. Yeee....” Kataku dengan ekspresi menggodanya.
“Benarkah??? Yeeee......”
“Ayo cepat siapin barang-barang. Ayo kakak mau bawa baju yang mana untuk berenang?”
“Yang ini Mi.” Si Kakak berlari membuka pintu lemari memilih-milih pakaiannya.
---
Walau hanya menginap semalam di hotel berbintang itu, anak-anakku terlihat sangat bahagia. Sungguh tak ada kebahagiaan yang melebihi saat melihat anak-anakku bahagia. Minggu sore akhirnya kami sampai kembali ke rumah kami.
“Pak... Bu... Ini ada titipannya.” Pak Sudin tetangga kami tiba-tiba datang menghampiri kami yang hendak masuk ke dalam rumah. Pak Sudin nampak membawa sebuah kantong plastik berwarna hitam yang nampak berisi sesuatu.
“Titipan apa ya Pak?”, tanya suamiku.
“Tadi ada kakek-kakek mau ke rumah bapak, tapi saya katakan bapak dan ibu sedang keluar. Lalu kakek itu menitipkan ini untuk diserahkan ke bapak dan ibu. Oh iya kakek itu juga meminta kertas dan pena untuk menuliskan surat dan dititipkan juga untuk disampaikan ke bapak dan ibu.” Pak Sudin menerangkan sembari menyerahkan bungkusan plastik dan sepucuk surat.
“Oh..iya terima kasih ya Pak Sudin, maaf sudah merepotkan Bapak.” Suamiku menerima bungkusan plastik dan surat itu.
“Sama-sama Pak, kalau begitu saya permisi dulu ya.”
Setelah Pak Sudin pergi kami membuka surat itu terlebih dahulu.
Assalamualaikum
Untuk Bapak dan Ibu yang baik,
Maafkan saya tidak tahu nama bapak dan ibu. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan bapak dan ibu kepada saya. Cucu saya sudah diwisuda. Saya tidak mampu membalas kebaikan bapak dan ibu, tetapi saya selalu berdoa agar Allah senantiasa melimpahkan rahmatnya untuk bapak sekeluarga. Semoga selalu sehat dan diberikan rejeki yang berkah. Aamiin. Ini ada buah mangga yang saya petik dari pohon saya sendiri, hanya ini yang bisa saya berikan. Tolong diterima.
Sekali lagi terima kasih.
Wassalam...
Kakek Musa
Kami membuka bungkusan plastik itu, nampaklah sekantong buah mangga yang ranum. Buah mangga adalah buah kesukaan suami dan puteraku. Terima kasih Kakek.... Dan kini kami tahu namamu adalah Kakek Musa.
SEKIAN
Cerita ini 90% berdasarkan kisah nyata dan selebihnya improvisasi dari penulis.
Terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat.
“Bukalah pintunya Pi. Ayo kita keluar menemui kakek itu.”
“Kamu yakin Mi?”
Ku jawab pertanyaan suamiku hanya dengan anggukan.
Ceklek... Suamiku membuka pintu rumah kami, dan kami berjalan keluar menemui kakek itu.
“Waalaikumsalam.” Aku dan suamiku serempak menjawab salam kakek tadi.
“Ibu... Bapak... Maaf mngkin Saya mengganggu waktu istirahat ibu dan bapak.” Kakek itu memulai percakapannya.
“Wah rupanya kakek yang datang. Tidak apa-apa kok Kek... Ada apa ya Kek?”, jawabku.
“Begini Ibu, apakah sisa uang yang kemarin saya minta sudah ada? Kemarin Ibu hanya memberi saya seratus ribu karena kemarin penghujung bulan Ibu sudah tak ada uang. Saya masih perlu dua ratus ribu lagi.”
“Ohh... Iya, Kakek duduklah dulu, biar ku buatkan minuman. Kakek pasti lelah.”
Ku persilahkan kakek itu duduk di kursi teras kami, suamiku pun turut duduk menemaninya. Ku serahkan puteriku pada suamiku lalu ku masuk ke dalam rumah membuat segelas teh hangat.
“Kakek minumlah dulu teh hangat ini, dan tunggulah sebentar. Kami mau keluar dulu, tak akan lama.” Kataku sambil meletakkan segelas teh hangat di atas meja.
“Iya Bu, terima kasih. Tapi benar Ibu tak akan lama kembali?”
“Iya Kek.”
Aku dan suamiku berlalu meninggalkan rumah kami dengan mobil kijang kapsul milik kantor suamiku yang dipinjamkan untuk kami pakai sehari-hari.
“Apakah kamu akan memberinya uang lagi Mi?” tanya suamiku dengan pandangan lurus ke depan sembari menggerak-gerakan setir di tangannya.
“Bukankah uang itu hanya titipan Allah Pi?”, jawabku datar.
“Tapi bulan ini uang kita tak berlebih.”, suamiku menimpali.
“Karena tak berlebih, uang yang kita miliki sekarang terasa sangat berharga. Bila kita berikan pada orang yang membutuhkan pertolongan bukankah nilai pahalanya lebih besar?”
“Lalu akan kau ambil dari pos belanja kita yang mana? Bukankah semua sudah pas?”
“Berdoalah agar kita sekeluarga selalu sehat Pi.”
---
“Kek, terimalah ini.” Kataku kepada kakek itu sembari menyerahkan dua lembar uang seratus ribu rupiah kepadanya.
“Alhamdulillah... Sekarang uang saya sudah genap. Terima kasih Ibu dan Bapak sudah menolong saya. Sekarang saya harus segera ke pelabuhan untuk mengirimkan uang ini untuk cucu saya yang kuliah di kota pulau sebelah. Saya pamit sekarang ya Bu, Pak.”
“Sama-sama Kek. Pertolongan ini sesungguhnya dari Allah, kami hanya perantara saja.”
“Alhamdulillah, semoga Bapak Ibu sekeluarga selalu diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Allah SWT.”
“Aamiin ya Rabbal’alamin.” Aku dan suamiku serempak menjawab.
Aku dan suamiku saling menatap dan saling tersenyum mengiringi kepergian kakek itu yang telah membawa dana cadangan yang ku anggarkan sebagai biaya kesehatan kami.
---
“Mbak, ini gaji Mbak Sima bulan ini.” Kataku kepada Mbak Sima sambil menyerahkan sebuah amplop putih di ruang tamu Mbak Sima saat aku hendak menjemput puteriku sepulang kantor sore itu.
“Bu...mengapa Ibu memberikan gaji saya? Saudara saya belum mengembalikan hutangnya, Ibu simpanlah dulu gaji saya sebagai jaminannya.”
“Ambillah Mbak, nanti kalau saudara Mbak Sima mengembalikan baru ku terima.”
“Tapi Bu... Belum ada kepastian dari saudara saya kapan dia bisa mengembalikan. Uang yang didapatkan suaminya kemarin dari pekerjaan menukangnya sudah terpakai untuk membeli kebutuhan anak-anaknya. Saudara saya bilang bulan ini kemungkinan belum bisa membayar, bilapun bulan selanjutnya bisa, mungkin belum bisa membayar penuh. Bolehkah dia mencicilnya Bu?”
“Tentu saja boleh Mbak. Bilanglah padanya untuk mencicil semampunya. Dan gaji ini adalah hak Mbak Sima, ambillah!”
“Baiklah Bu, nanti hutang saudara saya akan dibayar lebih, hitung-hitung sebagai bunga pinjamannya Bu.”
“Apakah kau melihat wajahku ini seperti lintah darat Mbak?”
“Hehe.. Maaf Bu.”
“Tak perlulah memakai bunga, apalagi yang meminjam adalah keluarga.”
Ya, Mbak Sima dan keluarganya sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri, apalagi kami adalah perantau yang tak punya sanak saudara di kota ini.
---
Hari ini adalah hari Sabtu di minggu ketiga bulan Desember, si Kakak terima raport. Suamiku yang pergi menerimanya.
“Mi...Kakak dapat juara satu.” Sebuah pesan whatsapp masuk ke telepon genggamku.
Ini berarti prestasi kakak meningkat karena di kelas satu kakak berada di posisi kedua.
“Assalamualaikum... Mi...lihat ini. Aku juara satu. Ye..ye..ye..ye...” Kakak berlari menghampiriku sambil membawa buku raportnya.
“Coba Ami lihat. Wah...nilai-nilai kakak bagus sekali.” Ku raih buku itu dan ku lihat satu-per satu angka yang tertera di sana.
“Berarti sebentar kita liburan kan Mi? Kita jadi nginap ke hotel kan Mi?”Kakak bertanya sembari menatap nanar kedua mataku.
Mendapat tatapan seperti itu, jantungku seketika berdegup kencang. Jawaban apa yang akan ku berikan pada puteraku. Kami sudah menjanjikannya liburan akhir semester ini sejak beberapa bulan yang lalu. Tapi kini kami sama sekali tak punya dana untuk itu.
“Kak...bisakah Kakak bersabar dulu? Saat ini Ami dan Api belum bisa mengajak Kakak menginap ke hotel. Insya Allah bulan depan, walau sudah tak libur semester, kita bisa pergi di akhir pekan.” Ku pegang kedua bahunya, berusaha meyakinkannya untuk setuju dengan perkataanku.
“Tidak! Ami dan Api sudah janji. Janji itu harus ditepati, tak boleh dilanggar.”
“Ami dan Api takkan melanggar, hanya saja belum sekarang.”
“Tidak!!! Aku tak mau bicara lagi.”
Puteraku yang berumur tujuh tahun itu seketika berlari meninggalkanku. Dia masuk ke dalam kamar, menutup pintunya dengan keras.
“Ya...Allah, ampuni hamba yang telah menyakiti hati putera hamba.” Bisikku di dalam hati.
“Sabar Mi, sebentar lagi ngambeknya pasti berhenti.” Suamiku menghampiriku dan mengusap punggung tanganku.
Cling...cling... Telepon genggamku berbunyi pertanda ada pesan whatsapp yang masuk.
Ku raih gawai yang tergeletak di meja dekatku berdiri dan ku buka isi pesan itu.
“Hai...Mentari. Job buat kamu lagi nih.. Please....bantuin aku ya. Tahun lalu bukan kamu yang handle aku kurang puas nih. Pokoknya kamu harus mau, tidak pakai tidak. File-file utama sudah aku email ke emailmu. Kalau kamu butuh data tambahan hubungi Nia saja ya, sekalian sambil tunggu data transaksi bulan ini. Aku kasih data lebih awal karena aku mau ke luar negeri sama keluargaku, baliknya sampai pertengahan bulan depan. Oh iya, fee-mu aku naikin ya, sekarang jadi enam juta. Sudah ku transfer ke rekeningmu yang biasa dua juta untuk uang muka. Ini bukti transfernya.”
“Subhanallah... Alhamdulillah...” Seketika ku ucapkan dua kata itu hingga membuat suamiku terkaget.
“Kenapa Mi?”, tanya suamiku.
“Bacalah ini Pi.”
Dini teman semasa kuliahku yang mengirimkan pesan whatssapp itu. Dia memiliki sebuah usaha fotocopy, percetakan dan penjualan alat tulis. Sudah beberapa tahun dia meminta bantuanku untuk mengaudit laporan keuangan perusahaannya itu. Kegiatan usahanya memang masih dilakukan dengan sistem akuntansi sederhana, sehingga dia membutuhkan bantuan auditor untuk memeriksa dan mengoreksi pencatatan yang ada untuk memperbaiki kinerja pelaporan usahanya serta untuk kepentingan pembayaran pajaknya. Aku memang bukanlah seorang auditor, hanya saja kemampuan akuntansiku bisa dibilang baik. Tahun lalu aku tak bisa membantunya karena saat itu aku masih sangat sibuk mengurus puteriku yang masih sangat bayi. Dan hari ini Dini menghubungiku, sungguh di luar dugaanku karena biasanya bila akan meminta bantuanku, Dini menghubungiku di awal tahun setelah tutup buku.
“Allah selalu bersama kita Mi.” Suamiku berkata padaku setelah membaca isi pesan itu. Matanya nampak berkaca-kaca.
Ku anggukkan kepala dan ku hambur tubuhnya dengan pelukanku. Bagaimana kami tak bahagia dan bersyukur, kami kini punya uang. Bukan hanya cukup untuk membayar sewa hotel itu, kami bahkan sekarang punya dana cadangan yang jumlahnya lima kali dana cadangan yang ku anggarkan kemarin dan telah ku berikan pada kakek itu.
---
“Surprise... Ye... Kakak kena prank!!!” Aku dan suamiku berteriak setelah membuka pintu kamar sambil membawa sebuah koper kecil.
“Maksudnya?”, si Kakak nampak kebingungan.
“Tadi itu Ami dan Api nge-prank Kakak. Sebenarnya hari ini kita akan liburan ke hotel. Yeee....” Kataku dengan ekspresi menggodanya.
“Benarkah??? Yeeee......”
“Ayo cepat siapin barang-barang. Ayo kakak mau bawa baju yang mana untuk berenang?”
“Yang ini Mi.” Si Kakak berlari membuka pintu lemari memilih-milih pakaiannya.
---
Walau hanya menginap semalam di hotel berbintang itu, anak-anakku terlihat sangat bahagia. Sungguh tak ada kebahagiaan yang melebihi saat melihat anak-anakku bahagia. Minggu sore akhirnya kami sampai kembali ke rumah kami.
“Pak... Bu... Ini ada titipannya.” Pak Sudin tetangga kami tiba-tiba datang menghampiri kami yang hendak masuk ke dalam rumah. Pak Sudin nampak membawa sebuah kantong plastik berwarna hitam yang nampak berisi sesuatu.
“Titipan apa ya Pak?”, tanya suamiku.
“Tadi ada kakek-kakek mau ke rumah bapak, tapi saya katakan bapak dan ibu sedang keluar. Lalu kakek itu menitipkan ini untuk diserahkan ke bapak dan ibu. Oh iya kakek itu juga meminta kertas dan pena untuk menuliskan surat dan dititipkan juga untuk disampaikan ke bapak dan ibu.” Pak Sudin menerangkan sembari menyerahkan bungkusan plastik dan sepucuk surat.
“Oh..iya terima kasih ya Pak Sudin, maaf sudah merepotkan Bapak.” Suamiku menerima bungkusan plastik dan surat itu.
“Sama-sama Pak, kalau begitu saya permisi dulu ya.”
Setelah Pak Sudin pergi kami membuka surat itu terlebih dahulu.
Assalamualaikum
Untuk Bapak dan Ibu yang baik,
Maafkan saya tidak tahu nama bapak dan ibu. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan bapak dan ibu kepada saya. Cucu saya sudah diwisuda. Saya tidak mampu membalas kebaikan bapak dan ibu, tetapi saya selalu berdoa agar Allah senantiasa melimpahkan rahmatnya untuk bapak sekeluarga. Semoga selalu sehat dan diberikan rejeki yang berkah. Aamiin. Ini ada buah mangga yang saya petik dari pohon saya sendiri, hanya ini yang bisa saya berikan. Tolong diterima.
Sekali lagi terima kasih.
Wassalam...
Kakek Musa
Kami membuka bungkusan plastik itu, nampaklah sekantong buah mangga yang ranum. Buah mangga adalah buah kesukaan suami dan puteraku. Terima kasih Kakek.... Dan kini kami tahu namamu adalah Kakek Musa.
SEKIAN
Cerita ini 90% berdasarkan kisah nyata dan selebihnya improvisasi dari penulis.
Terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat.
Menolong Tanpa Batas? (Bagian 2)
Jam dinding menunjukkan pukul 15.30 saat aku masuk ke dalam rumah setelah kepergian kakek itu.
Si kakak rupanya sudah siap untuk berangkat ke tempat les bahasa Inggrisnya. Suamiku pun sudah siap untuk mengantarkannya.
Setelah berpamitan padaku mereka pun pergi.
Ku lihat puteri kecilku masih terlelap dalam tidur sorenya. Ku raih telepon genggamku, rupanya ada pesan whatsapp yang masuk dari adik perempuanku.
"Kak, aku lagi mumet nih. Aku bingung harus bagaimana. Belakangan ini ku perhatikan nenek uring-uringan. Feelingku sih dia lagi tak punya uang. Kakak tau kan penghasilanku berapa, aku yang menanggung kebutuhan rumah, tak mungkin lagi ku tambahkan jatahnya." Begitulah bunyi pesan whatsapp-nya.
Adik perempuanku itu namanya Wulan. Seorang janda beranak dua. Suaminya meninggal setahun silam di usianya yang baru tiga puluh tahun karena sakit. Kedua anaknya lelaki, yang pertama berusia delapan tahun dan yang bungsu seusia puteri bungsuku. Selama ini mereka tinggal di rumah orang tua suaminya di kampung. Setelah suaminya meninggal, Wulan tetap tinggal di sana atas permintaan ayah mertuanya yang ingin tetap dekat dengan cucu-cucunya sebagai pengganti puteranya yang telah tiada. Sepeninggal suaminya, Wulan yang tadinya hanya menjadi ibu rumah tangga pun harus bekerja. Dengan bekal ijazah D-III keperawatannya Wulan diterima sebagai tenaga kontrak di RSUD dengan gaji enam ratus ribu rupiah per bulan.
Selain itu Wulan kadang mengobati orang-orang yang sakit di kampung itu dengan bayaran seadanya. Dari penghasilannya itu Wulan harus membiayai kebutuhan hidup dirinya, kedua anaknya, nenek kakek (mertuanya) dan seorang adik iparnya yang berusia sepuluh tahun. Wulan selalu bilang "asal sudah ada beras aku sudah tenang, sayur bisa petik di kebun kakek ala kadarnya, apapun yang bisa dipetik. Ikan disini tak begitu mahal, kadang kakekpun suka memancing ke laut."
Gaji Wulan memang hanya cukup untuk membeli beras dan beberapa kebutuhan lainnya. Seratus ribu rupiah menjadi jatah bulanan nenek (ibu mertuanya) untuk menjaga anak bungsu Wulan saat dia pergi bekerja.
"Tambahkanlah saja jatahnya, mungkin saja ada yang ingin dibelinya. Senangkanlah hati mertuamu supaya dia menjaga anakmu dengan baik. Besok kakak gajian, kakak transfer ke rekeningmu untuk tambahan uang jatah nenek, juga untuk uang jajan anak-anakmu." Ku balas chatting-nya.
---
Pukul 16.30 suamiku bergegas untuk menjemput si kakak dari les bahasa Inggrisnya. Waktu berlalu hingga pukul 17.30.
"Ahh...kenapa lama sekali mereka belum pulang", batinku.
Tak lama kemudian... ""Assalamualaikum..."
Si kakak datang sambil membawa kantong plastik berwarna hitam.
"Waalaikumsalam. Kok baru sampai rumah?"
"Tadi waktu jalan pulang, aku lewat jalan pinggir pantai, rupanya bertemu teman lalu diajak ngobrol dan ditawari minum. Tapi si kakak tak mau lama-lama, jadi kelapa mudanya dibawa pulang saja. Kelapanya dibayarin temanku itu" Suamiku menjawab pertanyaanku.
Kuraih kantong plastik yang dibawa kakak, dua buah kelapa hijau yang telah dikupas kulit luarnya.
"Pi..bukain dong kelapanya, aku mau minum airnya dulu, habis itu belahin ya aku mau makan kelapanya. Tidak usah pakai es dan sirup, aku mau makan begini saja." Si kakak nampak kegirangan sambil menggendong satu buah kelapa itu.
"Ya... Allah... Sungguh Engkaulah sebaik-baiknya penolong. Uang terakhirku yang hendak ku pakai membelikan kakak kelapa muda sudah kuberikan pada kakek itu. Tapi tak Kau biarkan puteraku bersedih. Dia tetap mendapatkan kelapa mudanya." Aku berkata di dalam hatiku sambil tersenyum menatap putera kesayanganku.
Seketika aku teringat perkataan seorang Ustadz yang senantiasa ku dengar tauziahnya di televisi setiap pagi sembari mondar mandir menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke kantor.
"Berilah pertolongan bila ada yang meminta bantuan tanpa harus berprasangka buruk kepadanya. Lakukan pertolonganmu hanya karena dan untuk Allah. Kendatipun orang yang meminta pertolongan mungkin hanya menipu, itu adalah urusan dia dengan Allah."
---
Hari ini tangal satu. Gaji kami sudah masuk ke rekening walaupun ini hari Minggu.
Aku mulai membuat daftar pengeluaranku bulan ini. Jumlah gajiku dan suamiku enam juta tujuh ratus ribu rupiah. Belanja bulanan termasuk susu anak-anak dua juta lima ratus ribu rupiah. Belanja bahan makanan sebulan satu juta rupiah. Bayar listrik dan air empat ratus lima puluh ribu rupiah. Uang saku kakak ke sekolah dua ratus lima puluh ribu rupiah sebulan. Uang jajan aku dan suamiku saat di kantor masing-masing lima ratus ribu rupiah. Kami perlu uang saku untuk membeli cemilan saat sedang bekerja di kantor. Gaji Mbak Sima satu juta rupiah. Ya..tetap ku anggarkan pembayaran gaji Mbak Sima walaupun dia bilang menggadaikan gajinya saat meminjam uang untuk saudaranya. Biarkanlah saat saudaranya itu membayar hutang kepada Mbak Sima baru ku terima. Kalau ku ambil dari gaji Mbak Sima, mau makan apa dia dan ibunya. Tiga ratus ribu rupiah akan ku kirimkan untuk adikku. Sisanya dua ratus ribu rupiah kujadikan dana cadangan bila sewaktu-waktu kami sakit, kami butuh dana untuk ke dokter. Apalagi saat ini musim panas, anak-anak rentan panas dan batuk.
Dering telepon genggam suamiku mengagetkanku di tengah keasikanku membuat catatan daftar pengeluaran.
"Halo... Gimana Ndra? Apa? Terus gimana? Iya bawa saja ke rumah sakit sekarang. Nanti mas kirim." Tut..tut..tut
"Siapa Pi?" Tanyaku penasaran.
"Indra Mi. Bapak mau dibawa ke rumah sakit, katanya muntah-muntah dan badannya sudah lemas. Tadi Indra telepon sambil nangis-nangis, terus teleponnya putus. Kayaknya dia buru-buru. Mi...kita kirim sejuta ya ke rekening Ibu buat biaya rumah sakit."
Rupanya Indra adik suamiku yang menelepon. "Ya...Allah semoga Bapak baik-baik saja. Iya Pi segera kirim uangnya."
Satu juta rupiah biarlah diambil dari jatah uang jajanku dan suamiku. Biarlah bulan ini kami menahan sedikit rasa ingin ngemil kami saat di kantor. Tak mengapa asal Bapak segera mendapat perawatan.
"Ayo Mi kita ke ATM sekarang, sekalian kita kirimkan uang Dik Wulan."
"Iya Pi." Ku ambil dompetku, lalu ku gendong puteri kecilku. Sesaat ketika kami akan membuka pintu rumah terdengar suara dari luar.
"Assalamualaikum.... Assalamualaikum."
"Mi....Kakek itu datang lagi!" Suamiku berkata datar namun dengan ekspresi wajahnya yang kaget usai mengintip dari celah jendela.
"Subhanallah..." Ku hanya dapat mengeluarkan kata itu lalu diam terpaku.
Ya...Allah... Apakah Engkau sedang menguji kami. Apakah kakek itu datang hendak menagih perkataanku kemarin? Apakah kakek itu tahu hari ini kami gajian? Kami sudah tak punya kelebihan uang untuk bulan ini. Tak mungkin ku kurangi dari belanja bulanan kami yang sudah kuhitung pas. Harga susu anak-anak tak bisa ditawar. Tak mungkin juga dari uang belanja bahan makanan kami. Anak-anakku masih dalam masa pertumbuhan, mereka butuh asupan gizi yang cukup. Apalagi uang yang akan ku kirim untuk adikku. Anak-anaknya yatim, mereka memerlukan bantuanku. Uang jajanku dan suamiku akan kukirimkan untuk mertuaku.
Ya... Allah... Apakah tak ada batas untuk menolong?
Bersambung
Si kakak rupanya sudah siap untuk berangkat ke tempat les bahasa Inggrisnya. Suamiku pun sudah siap untuk mengantarkannya.
Setelah berpamitan padaku mereka pun pergi.
Ku lihat puteri kecilku masih terlelap dalam tidur sorenya. Ku raih telepon genggamku, rupanya ada pesan whatsapp yang masuk dari adik perempuanku.
"Kak, aku lagi mumet nih. Aku bingung harus bagaimana. Belakangan ini ku perhatikan nenek uring-uringan. Feelingku sih dia lagi tak punya uang. Kakak tau kan penghasilanku berapa, aku yang menanggung kebutuhan rumah, tak mungkin lagi ku tambahkan jatahnya." Begitulah bunyi pesan whatsapp-nya.
Adik perempuanku itu namanya Wulan. Seorang janda beranak dua. Suaminya meninggal setahun silam di usianya yang baru tiga puluh tahun karena sakit. Kedua anaknya lelaki, yang pertama berusia delapan tahun dan yang bungsu seusia puteri bungsuku. Selama ini mereka tinggal di rumah orang tua suaminya di kampung. Setelah suaminya meninggal, Wulan tetap tinggal di sana atas permintaan ayah mertuanya yang ingin tetap dekat dengan cucu-cucunya sebagai pengganti puteranya yang telah tiada. Sepeninggal suaminya, Wulan yang tadinya hanya menjadi ibu rumah tangga pun harus bekerja. Dengan bekal ijazah D-III keperawatannya Wulan diterima sebagai tenaga kontrak di RSUD dengan gaji enam ratus ribu rupiah per bulan.
Selain itu Wulan kadang mengobati orang-orang yang sakit di kampung itu dengan bayaran seadanya. Dari penghasilannya itu Wulan harus membiayai kebutuhan hidup dirinya, kedua anaknya, nenek kakek (mertuanya) dan seorang adik iparnya yang berusia sepuluh tahun. Wulan selalu bilang "asal sudah ada beras aku sudah tenang, sayur bisa petik di kebun kakek ala kadarnya, apapun yang bisa dipetik. Ikan disini tak begitu mahal, kadang kakekpun suka memancing ke laut."
Gaji Wulan memang hanya cukup untuk membeli beras dan beberapa kebutuhan lainnya. Seratus ribu rupiah menjadi jatah bulanan nenek (ibu mertuanya) untuk menjaga anak bungsu Wulan saat dia pergi bekerja.
"Tambahkanlah saja jatahnya, mungkin saja ada yang ingin dibelinya. Senangkanlah hati mertuamu supaya dia menjaga anakmu dengan baik. Besok kakak gajian, kakak transfer ke rekeningmu untuk tambahan uang jatah nenek, juga untuk uang jajan anak-anakmu." Ku balas chatting-nya.
---
Pukul 16.30 suamiku bergegas untuk menjemput si kakak dari les bahasa Inggrisnya. Waktu berlalu hingga pukul 17.30.
"Ahh...kenapa lama sekali mereka belum pulang", batinku.
Tak lama kemudian... ""Assalamualaikum..."
Si kakak datang sambil membawa kantong plastik berwarna hitam.
"Waalaikumsalam. Kok baru sampai rumah?"
"Tadi waktu jalan pulang, aku lewat jalan pinggir pantai, rupanya bertemu teman lalu diajak ngobrol dan ditawari minum. Tapi si kakak tak mau lama-lama, jadi kelapa mudanya dibawa pulang saja. Kelapanya dibayarin temanku itu" Suamiku menjawab pertanyaanku.
Kuraih kantong plastik yang dibawa kakak, dua buah kelapa hijau yang telah dikupas kulit luarnya.
"Pi..bukain dong kelapanya, aku mau minum airnya dulu, habis itu belahin ya aku mau makan kelapanya. Tidak usah pakai es dan sirup, aku mau makan begini saja." Si kakak nampak kegirangan sambil menggendong satu buah kelapa itu.
"Ya... Allah... Sungguh Engkaulah sebaik-baiknya penolong. Uang terakhirku yang hendak ku pakai membelikan kakak kelapa muda sudah kuberikan pada kakek itu. Tapi tak Kau biarkan puteraku bersedih. Dia tetap mendapatkan kelapa mudanya." Aku berkata di dalam hatiku sambil tersenyum menatap putera kesayanganku.
Seketika aku teringat perkataan seorang Ustadz yang senantiasa ku dengar tauziahnya di televisi setiap pagi sembari mondar mandir menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke kantor.
"Berilah pertolongan bila ada yang meminta bantuan tanpa harus berprasangka buruk kepadanya. Lakukan pertolonganmu hanya karena dan untuk Allah. Kendatipun orang yang meminta pertolongan mungkin hanya menipu, itu adalah urusan dia dengan Allah."
---
Hari ini tangal satu. Gaji kami sudah masuk ke rekening walaupun ini hari Minggu.
Aku mulai membuat daftar pengeluaranku bulan ini. Jumlah gajiku dan suamiku enam juta tujuh ratus ribu rupiah. Belanja bulanan termasuk susu anak-anak dua juta lima ratus ribu rupiah. Belanja bahan makanan sebulan satu juta rupiah. Bayar listrik dan air empat ratus lima puluh ribu rupiah. Uang saku kakak ke sekolah dua ratus lima puluh ribu rupiah sebulan. Uang jajan aku dan suamiku saat di kantor masing-masing lima ratus ribu rupiah. Kami perlu uang saku untuk membeli cemilan saat sedang bekerja di kantor. Gaji Mbak Sima satu juta rupiah. Ya..tetap ku anggarkan pembayaran gaji Mbak Sima walaupun dia bilang menggadaikan gajinya saat meminjam uang untuk saudaranya. Biarkanlah saat saudaranya itu membayar hutang kepada Mbak Sima baru ku terima. Kalau ku ambil dari gaji Mbak Sima, mau makan apa dia dan ibunya. Tiga ratus ribu rupiah akan ku kirimkan untuk adikku. Sisanya dua ratus ribu rupiah kujadikan dana cadangan bila sewaktu-waktu kami sakit, kami butuh dana untuk ke dokter. Apalagi saat ini musim panas, anak-anak rentan panas dan batuk.
Dering telepon genggam suamiku mengagetkanku di tengah keasikanku membuat catatan daftar pengeluaran.
"Halo... Gimana Ndra? Apa? Terus gimana? Iya bawa saja ke rumah sakit sekarang. Nanti mas kirim." Tut..tut..tut
"Siapa Pi?" Tanyaku penasaran.
"Indra Mi. Bapak mau dibawa ke rumah sakit, katanya muntah-muntah dan badannya sudah lemas. Tadi Indra telepon sambil nangis-nangis, terus teleponnya putus. Kayaknya dia buru-buru. Mi...kita kirim sejuta ya ke rekening Ibu buat biaya rumah sakit."
Rupanya Indra adik suamiku yang menelepon. "Ya...Allah semoga Bapak baik-baik saja. Iya Pi segera kirim uangnya."
Satu juta rupiah biarlah diambil dari jatah uang jajanku dan suamiku. Biarlah bulan ini kami menahan sedikit rasa ingin ngemil kami saat di kantor. Tak mengapa asal Bapak segera mendapat perawatan.
"Ayo Mi kita ke ATM sekarang, sekalian kita kirimkan uang Dik Wulan."
"Iya Pi." Ku ambil dompetku, lalu ku gendong puteri kecilku. Sesaat ketika kami akan membuka pintu rumah terdengar suara dari luar.
"Assalamualaikum.... Assalamualaikum."
"Mi....Kakek itu datang lagi!" Suamiku berkata datar namun dengan ekspresi wajahnya yang kaget usai mengintip dari celah jendela.
"Subhanallah..." Ku hanya dapat mengeluarkan kata itu lalu diam terpaku.
Ya...Allah... Apakah Engkau sedang menguji kami. Apakah kakek itu datang hendak menagih perkataanku kemarin? Apakah kakek itu tahu hari ini kami gajian? Kami sudah tak punya kelebihan uang untuk bulan ini. Tak mungkin ku kurangi dari belanja bulanan kami yang sudah kuhitung pas. Harga susu anak-anak tak bisa ditawar. Tak mungkin juga dari uang belanja bahan makanan kami. Anak-anakku masih dalam masa pertumbuhan, mereka butuh asupan gizi yang cukup. Apalagi uang yang akan ku kirim untuk adikku. Anak-anaknya yatim, mereka memerlukan bantuanku. Uang jajanku dan suamiku akan kukirimkan untuk mertuaku.
Ya... Allah... Apakah tak ada batas untuk menolong?
Bersambung
Menolong Tanpa Batas? (Bagian 1)
"Tolonglah Bu, kalau tidak melunasi biayanya cucu saya tidak bisa ikut wisuda tahun ini." Kata kakek yang duduk di hadapanku.
"Berapa biaya yang harus dibayar?" Tanyaku pelan.
"Tiga juta lima ratus. Tapi saya sudah punya dua juta sembilan ratus dari menjual ternak saya, kurang enam ratus ribu lagi. Kalau ibu bersedia memberi sisanya, saya akan sangat berterima kasih. Tapi kalau tidak, mungkin setengahnya." Jawabnya dengan mata berbinar.
"Astagfirullah..." Kataku seketika, membuatnya agak terkejut.
Ya, kakek itu hendak meminta, bukan meminjam. Ingatanku kembali ke kejadian empat bulan yang lalu, sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Kala itu aku, suamiku, dan kedua anakku baru pulang berbelanja untuk keperluan lebaran. Ketika hendak masuk rumah, seorang kakek tiba-tiba datang menghampiri kami. Entah dari mana datangnya, sehingga membuatku terkaget.
"Ibu... Tolonglah saya. Berikan saya uang untuk ongkos pulang ke kampung saya."
"Kakek duduklah dulu, tunggu sebentar." Kataku sambil mempersilahkannya duduk di kursi teras.
Ku bawa anak-anakku masuk ke rumah, sedangkan suamiku sempat berbicara sebentar dengan kakek itu.
"Kampung bapak dimana?" Tanya suamiku.
"Di pulau kecil seberang itu." Jawab si kakek.
"Ke pulau itu berapa biayanya? Tanya suamiku lagi.
"Menyeberang dengan perahu speed lima belas ribu. Saya sama sekali tidak punya uang. Tolonglah beri saya lima belas ribu untuk ongkos pulang." Jawab kakek itu lagi.
Suamiku masuk ke dalam rumah, dan berkata padaku, "Berikanlah dia uang, kasihan kakek itu."
Ku buka dompetku, ku hitung lembaran rupiah sisa belanja tadi. Tak mungkin kuberi dia pas lima belas ribu, apalagi besok lebaran. Biarlah ini menjadi hadiah lebaran untuknya, pikirku. Seratus ribu rupiah, aku masih punya sejumlah itu. Ku lipat uang itu sambil tersenyum. Ketika hendak melangkah keluar, ku teringat sesuatu. Ku langkahkan kakiku ke dapur, ku ambil dua botol sirup dan satu pak mie kering. Ku bungkus dengan kantong plastik, lalu berjalan keluar menemui kakek itu.
"Kek, ambillah ini." Kataku sambil menyerahkan uang dan bungkusan plastik itu.
Kakek itu membuka lipatan uang dan menghitungnya.
"Alhamdulillah." Kata kakek itu dengan mata berbinar seolah tak percaya dengan jumlah yang dihitungnya.
"Yang di plastik itu sirup dan mie kering, bisa dimasak jadi mie goreng untuk lebaran besok." Kataku sambil tersenyum.
"Terima kasih Bu. Saya permisi dulu, harus segera karena hari sudah hampir magrib, tak lama lagi waktunya berbuka."
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum mengiringi langkahnya meninggalkan rumah kami.
---
"Assalamualaikum.... Assalamualaikum..." Terdengar suara lirih seorang pria di depan rumah kami.
Suamiku keluar dan menemui tamu tersebut.
"Waalaikumsalam.... Bapak mau bertemu dengan siapa ya?" Tanya suamiku pada pria baya yang berdiri di depannya.
"Saya mau ketemu ibu, pak. Saya mau minta bantuan lagi." Kata kakek itu.
"Maksud bapak, ibu siapa ya? Mau minta bantuan bagaimana ya?" Rupanya suamiku telah lupa pada sosok kakek yang pernah datang empat bulan silam itu.
"Istri bapak pernah memberi saya uang dan makanan. Sekarang saya butuh bantuan lagi, cucu saya mau wisuda dan harus membayar dulu."
Suami saya nampak kebingungan lalu menyuruh kakek itu menunggu dan dia pun masuk ke dalam rumah.
Di dalam kamar dia menceritakan kedatangan kakek itu padaku.
"Apa kita masih punya uang?" Tanya suamiku.
"Seratus ribu." Jawabku.
"Berikanlah saja uang itu, besok kan kita gajian." Kata suamiku, sambil menunjuk kalender yang memperlihatkan hari ini tanggal tiga puluh, dan besok tanggal satu.
Aku mengangguk, ku ambil uang seratus ribu rupiah itu dari dompetku. Ku tatap sesaat, lalu ku masukkan dalam saku celana panjangku. Aku berjalan keluar rumah, sambil membayangkan puteraku si kakak yang ku janjikan minum es kelapa muda di tepi pantai sore nanti sepulang les bahasa inggrisnya. Ahh...semoga saja Miss Tina mengakhiri les lebih sore hari ini supaya aku punya alasan pada si kakak bila hari terlalu sore untuk minum es kelapa.
Teringat si kakak, akupun teringat kejadian hari kemarin. Uang yang ku tabung untuk memenuhi janjiku pada puteraku, liburan ke hotel berbintang yang ada kolam renangnya saat libur semester bulan depan, telah kupinjamkan pada Mbak Sima. Bagaimana mungkin aku tak membantu Mbak Sima, dia menjaga puteriku yang belum genap dua tahun usianya itu dengan baik saat aku kerja.
"Bu...maaf, bisakah ibu membantu saya?"
"Bantu apa mbak, katakanlah?"
"Saudara saya mau meminjam uang pada saya untuk membayar cicilan motornya. Tapi saya tidak punya uang. Dia perlu satu juta, apakah ibu bisa membantu meminjamkannya? Gaji saya bulan depan jadi jaminannya bu."
"Mbak Sima tidak perlu menggadaikan gaji, sebentar ya mbak."
Ku masuk ke dalam kamar, mengambil amplop yang ada di dalam tasku. Ku hitung jumlahnya, genap satu juta rupiah.
---
"Kek, saya hanya bisa memberi kakek segini." Kataku sambil mengambil uang seratus ribu rupiah dari saku celanaku.
"Bu...tambahkanlah lagi. Bila cuma segitu saya harus mencari kurangnya masih banyak lagi."
"Kek, uang yang saya punya sisa ini. Kakek datang di penghujung bulan."
"Baiklah bu, saya terima uangnya. Tapi apa nanti saya boleh datang lagi?"
Ku tarik nafasku, kupahami maksud perkataannya lalu berkata "Tentu boleh, bila ada rejeki lagi tentu kami akan berbagi."
Kakek itu lalu pamit dan berjalan pergi meninggalkan rumah kami. Ku pandangi langkahnya hingga tak nampak lagi dari penglihatanku.
Bersambung
"Berapa biaya yang harus dibayar?" Tanyaku pelan.
"Tiga juta lima ratus. Tapi saya sudah punya dua juta sembilan ratus dari menjual ternak saya, kurang enam ratus ribu lagi. Kalau ibu bersedia memberi sisanya, saya akan sangat berterima kasih. Tapi kalau tidak, mungkin setengahnya." Jawabnya dengan mata berbinar.
"Astagfirullah..." Kataku seketika, membuatnya agak terkejut.
Ya, kakek itu hendak meminta, bukan meminjam. Ingatanku kembali ke kejadian empat bulan yang lalu, sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Kala itu aku, suamiku, dan kedua anakku baru pulang berbelanja untuk keperluan lebaran. Ketika hendak masuk rumah, seorang kakek tiba-tiba datang menghampiri kami. Entah dari mana datangnya, sehingga membuatku terkaget.
"Ibu... Tolonglah saya. Berikan saya uang untuk ongkos pulang ke kampung saya."
"Kakek duduklah dulu, tunggu sebentar." Kataku sambil mempersilahkannya duduk di kursi teras.
Ku bawa anak-anakku masuk ke rumah, sedangkan suamiku sempat berbicara sebentar dengan kakek itu.
"Kampung bapak dimana?" Tanya suamiku.
"Di pulau kecil seberang itu." Jawab si kakek.
"Ke pulau itu berapa biayanya? Tanya suamiku lagi.
"Menyeberang dengan perahu speed lima belas ribu. Saya sama sekali tidak punya uang. Tolonglah beri saya lima belas ribu untuk ongkos pulang." Jawab kakek itu lagi.
Suamiku masuk ke dalam rumah, dan berkata padaku, "Berikanlah dia uang, kasihan kakek itu."
Ku buka dompetku, ku hitung lembaran rupiah sisa belanja tadi. Tak mungkin kuberi dia pas lima belas ribu, apalagi besok lebaran. Biarlah ini menjadi hadiah lebaran untuknya, pikirku. Seratus ribu rupiah, aku masih punya sejumlah itu. Ku lipat uang itu sambil tersenyum. Ketika hendak melangkah keluar, ku teringat sesuatu. Ku langkahkan kakiku ke dapur, ku ambil dua botol sirup dan satu pak mie kering. Ku bungkus dengan kantong plastik, lalu berjalan keluar menemui kakek itu.
"Kek, ambillah ini." Kataku sambil menyerahkan uang dan bungkusan plastik itu.
Kakek itu membuka lipatan uang dan menghitungnya.
"Alhamdulillah." Kata kakek itu dengan mata berbinar seolah tak percaya dengan jumlah yang dihitungnya.
"Yang di plastik itu sirup dan mie kering, bisa dimasak jadi mie goreng untuk lebaran besok." Kataku sambil tersenyum.
"Terima kasih Bu. Saya permisi dulu, harus segera karena hari sudah hampir magrib, tak lama lagi waktunya berbuka."
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum mengiringi langkahnya meninggalkan rumah kami.
---
"Assalamualaikum.... Assalamualaikum..." Terdengar suara lirih seorang pria di depan rumah kami.
Suamiku keluar dan menemui tamu tersebut.
"Waalaikumsalam.... Bapak mau bertemu dengan siapa ya?" Tanya suamiku pada pria baya yang berdiri di depannya.
"Saya mau ketemu ibu, pak. Saya mau minta bantuan lagi." Kata kakek itu.
"Maksud bapak, ibu siapa ya? Mau minta bantuan bagaimana ya?" Rupanya suamiku telah lupa pada sosok kakek yang pernah datang empat bulan silam itu.
"Istri bapak pernah memberi saya uang dan makanan. Sekarang saya butuh bantuan lagi, cucu saya mau wisuda dan harus membayar dulu."
Suami saya nampak kebingungan lalu menyuruh kakek itu menunggu dan dia pun masuk ke dalam rumah.
Di dalam kamar dia menceritakan kedatangan kakek itu padaku.
"Apa kita masih punya uang?" Tanya suamiku.
"Seratus ribu." Jawabku.
"Berikanlah saja uang itu, besok kan kita gajian." Kata suamiku, sambil menunjuk kalender yang memperlihatkan hari ini tanggal tiga puluh, dan besok tanggal satu.
Aku mengangguk, ku ambil uang seratus ribu rupiah itu dari dompetku. Ku tatap sesaat, lalu ku masukkan dalam saku celana panjangku. Aku berjalan keluar rumah, sambil membayangkan puteraku si kakak yang ku janjikan minum es kelapa muda di tepi pantai sore nanti sepulang les bahasa inggrisnya. Ahh...semoga saja Miss Tina mengakhiri les lebih sore hari ini supaya aku punya alasan pada si kakak bila hari terlalu sore untuk minum es kelapa.
Teringat si kakak, akupun teringat kejadian hari kemarin. Uang yang ku tabung untuk memenuhi janjiku pada puteraku, liburan ke hotel berbintang yang ada kolam renangnya saat libur semester bulan depan, telah kupinjamkan pada Mbak Sima. Bagaimana mungkin aku tak membantu Mbak Sima, dia menjaga puteriku yang belum genap dua tahun usianya itu dengan baik saat aku kerja.
"Bu...maaf, bisakah ibu membantu saya?"
"Bantu apa mbak, katakanlah?"
"Saudara saya mau meminjam uang pada saya untuk membayar cicilan motornya. Tapi saya tidak punya uang. Dia perlu satu juta, apakah ibu bisa membantu meminjamkannya? Gaji saya bulan depan jadi jaminannya bu."
"Mbak Sima tidak perlu menggadaikan gaji, sebentar ya mbak."
Ku masuk ke dalam kamar, mengambil amplop yang ada di dalam tasku. Ku hitung jumlahnya, genap satu juta rupiah.
---
"Kek, saya hanya bisa memberi kakek segini." Kataku sambil mengambil uang seratus ribu rupiah dari saku celanaku.
"Bu...tambahkanlah lagi. Bila cuma segitu saya harus mencari kurangnya masih banyak lagi."
"Kek, uang yang saya punya sisa ini. Kakek datang di penghujung bulan."
"Baiklah bu, saya terima uangnya. Tapi apa nanti saya boleh datang lagi?"
Ku tarik nafasku, kupahami maksud perkataannya lalu berkata "Tentu boleh, bila ada rejeki lagi tentu kami akan berbagi."
Kakek itu lalu pamit dan berjalan pergi meninggalkan rumah kami. Ku pandangi langkahnya hingga tak nampak lagi dari penglihatanku.
Bersambung
Jumat, 22 November 2019
Keriyaanmu Ternyata Jalan Bahagiaku
“Ahhh...selesai juga kerjaan hari ini.”
Ku tutup berkas-berkas di mejaku dan ku masukkan ke dalam laci di bawah meja. Begitu juga dengan seluruh aplikasi kantor yang terbuka di komputerku. Sesaat ku ambil handphoneku, ku hempaskan punggungku ke sandaran kursi dan mulai kubuka aplikasi media sosial yang tak pernah lupa untuk ku pantau setiap hari, facebook.
“Ahhh..dia lagi” batinku sambil terus mengamati foto-foto foto dan statusnya yang muncul di beranda facebook-ku.
Ya, dia Rasi teman SMAku. Sudah sangat lama aku tak berjumpa dengannya. Tepatnya sejak kami lulus SMA. Tetapi grup reuni SMA di facebook membuatku berteman dengannya di facebook dan akhirnya akupun bisa melihat dan mengetahui keadaannya saat ini, atau lebih tepatnya tahu tentang segala sesuatu yang dimilikinya sekarang.
Sebuah foto mobil baru berwarna kuning lengkap dengan status kebahagiaannya dan foto selfie keceriaannya. “Alhamdulillah....mobil baruku sudah datang, sesuai warna kesukaanku. Hasil kerja keras aku dan suamiku. Makasih ya sayang....semoga bisnis kita semakin lancar, dan rejeki kita semakin berlimpah”, begitulah bunyi statusnya dan tak lupa dia men-tag nama facebook suaminya “Remon”.
Padahal baru kemarin dia memposting tas barunya yang dibeli di luar negeri, yang harganya mungkin mencapai gajiku setahun. Ahh..apalah aku yang hanya seorang admin di kantor swasta, yang gaji bulanan hanya cukup untuk bayar kosan, kirim ke orang tuaku di kampung dan makan sehari-hari alakadarnya. Bedak dan lipstikkupun murahan, tapi bersyukurnya wajahku memang manis.
Remon, suami Rasi. Entah apa yang kemudian membuatku mengklik namanya dan melihat profil facebooknya. Hatiku berdegup kagum. Sungguh pria ini sangat memikat. Kaya dan tampan. Ahh..sebenarnya aku sudah sering melihat foto-fotonya bersama Rasi di beranda facebook-ku. Tentu saja dengan berbagai caption yang menunjukkan betapa bahagianya Rasi bersuamikan Remon. Kekayaannya, keromantisannya, kebaikannya tentu saja tak ada satu hal pun yang terlewatkan untuk diposting oleh Rasi.
Ohh...Rasi...mengapa engkau begitu riya? Mengapa kau pamerkan hartamu, kebahagiaanmu, dan terlebih suamimu? Salahkah aku bila kini ada perasaan lain di hatiku? Aku menginginkan menjadi dirimu!
Apakah itu mungkin? Rasi wanita yang cerdas, sejak SMA juara kelas. Tapi yang ku tahu dia sangat pelit, dia tak pernah mau memberikan contekan bila ada PR apalagi saat ujian. Rasi selalu bilang “berjuanglah bila kau menginginkan sesuatu”.
Lalu...inilah awal perjuanganku.... Ku klik tombol pesan di profil Remon, dan ku tuliskan “Hai”.
Setahun berlalu.... Saya Nera, istri sah Mas Remon.
Jumat, 18 Mei 2018
Tentang Puteriku (Anugerah di Pulau Bacan)
Pada tanggal 28 Maret 2016, saya menginjakkan kaki di Maluku Utara tepatnya di Kota Labuha, Pulau Bacan, Halmahera Selatan. Setibanya di sana, perasaan bercampur aduk, senang karena akhirnya bisa berkumpul tinggal bersama dengan pendamping hidup, sedih karena berpisah dengan keluarga dan sahabat-sahabat terkerenku di Kendari, juga was-was bagaimana dengan pola kehidupan di kota ini. Apakah saya bisa bergaul dengan baik dengan kawan-kawan di lingkungan yang baru.
Satu dua hari berlalu ....
Awalnya terasa membosankan, ahh kota yang sunyi .... Mana belum akrab dengan kawan-kawan baru. Apalagi di sini harus berpisah dengan putera tersayangku yang dititipkan di nenek-kakeknya. Setiap hari berharap diberi kekuatan dan kesabaran.
Beberapa bulan kemudian ....
Ahhh mulai terasa nyaman, sudah mulai akrab dengan rekan kerja di ruanganku, sudah terbiasa dengan lingkungan, dengan makanan, dan sudah mulai merasakan betah.
Tahun 2016 pun berlalu, memasuki tahun 2017, sepertinya belum ada tanda-tanda akan pindah dari Kota Labuha. Tetap menjalani dan bersyukur membuat saya semakin betah berada di kota ini. Hingga akhirnya pada bulan Mei 2017, saya menyadari bahwa Tuhan memberikan anugerah padaku, ya setelah melakukan tespeck (yang didahului dengan rasa pusing dan mual) ternyata saya sedang mengandung anak kedua. Dan kemudian masa-masa drama kehamilan pun dimulai. Hiperemesis dan hipersaliva menemani hari-hariku hingga melahirkan anak keduaku seorang puteri yang cantik.
Jumat (kliwon) 5 Januari 2018 pukul 12.12 WIB di RS St. Elisabeth Semarang puteri kecil yang cantik akhirnya terlahir dengan proses persalinan normal. Sungguh kebahagiaan luar biasa kami rasakan, setelah memiliki seorang putera, kini kami memiliki seorang puteri.
Setelah beberapa hari bersama memikirkan nama untuk puteri kecil kami, akhirnya terpilihlah 4 rangkaian kata indah untuknya, Mashel Dylofa Janalin Santoso. Mashel (Islami) berarti sinar atau cahaya. Dylofa (Inggris) berarti terpuji, dipuji atau pujian. Janalin (berbagai bahasa) berarti hadiah dari Tuhan (pemberian Tuhan yang anggun). Santoso diambil dari nama bapaknya.
Dylofa anugerah di Pulau Bacan, puteri kami yang cantik, tumbuhlah menjadi wanita cerdas, tangguh, sabar, dan membanggakan orang tuamu. Berkat dan doa amia dan apia selalu bersamamu Nak. Selalu menyayangimu ....
Langganan:
Postingan (Atom)