Sabtu, 07 Desember 2019

Menolong Tanpa Batas? (Bagian 3)

Suamiku menatapku seolah bertanya “apa yang harus kita lakukan?”. Ku balas tatapannya seraya mengganggukkan kepalaku.

“Bukalah pintunya Pi. Ayo kita keluar menemui kakek itu.”

“Kamu yakin Mi?”

Ku jawab pertanyaan suamiku hanya dengan anggukan.

Ceklek... Suamiku membuka pintu rumah kami, dan kami berjalan keluar menemui kakek itu.

“Waalaikumsalam.” Aku dan suamiku serempak menjawab salam kakek tadi.

“Ibu... Bapak... Maaf mngkin Saya mengganggu waktu istirahat ibu dan bapak.” Kakek itu memulai percakapannya.

“Wah rupanya kakek yang datang. Tidak apa-apa kok Kek... Ada apa ya Kek?”, jawabku.

“Begini Ibu, apakah sisa uang yang kemarin saya minta sudah ada? Kemarin Ibu hanya memberi saya seratus ribu karena kemarin penghujung bulan Ibu sudah tak ada uang. Saya masih perlu dua ratus ribu lagi.”

“Ohh... Iya, Kakek duduklah dulu, biar ku buatkan minuman. Kakek pasti lelah.”

Ku persilahkan kakek itu duduk di kursi teras kami, suamiku pun turut duduk menemaninya. Ku serahkan puteriku pada suamiku lalu ku masuk ke dalam rumah membuat segelas teh hangat.

“Kakek minumlah dulu teh hangat ini, dan tunggulah sebentar. Kami mau keluar dulu, tak akan lama.” Kataku sambil meletakkan segelas teh hangat di atas meja.

“Iya Bu, terima kasih. Tapi benar Ibu tak akan lama kembali?”

“Iya Kek.”

Aku dan suamiku berlalu meninggalkan rumah kami dengan mobil kijang kapsul milik kantor suamiku yang dipinjamkan untuk kami pakai sehari-hari.

“Apakah kamu akan memberinya uang lagi Mi?” tanya suamiku dengan pandangan lurus ke depan sembari menggerak-gerakan setir di tangannya.

“Bukankah uang itu hanya titipan Allah Pi?”, jawabku datar.

“Tapi bulan ini uang kita tak berlebih.”, suamiku menimpali.

“Karena tak berlebih, uang yang kita miliki sekarang terasa sangat berharga. Bila kita berikan pada orang yang membutuhkan pertolongan bukankah nilai pahalanya lebih besar?”

“Lalu akan kau ambil dari pos belanja kita yang mana? Bukankah semua sudah pas?”

“Berdoalah agar kita sekeluarga selalu sehat Pi.”

---

“Kek, terimalah ini.” Kataku kepada kakek itu sembari menyerahkan dua lembar uang seratus ribu rupiah kepadanya.

“Alhamdulillah... Sekarang uang saya sudah genap. Terima kasih Ibu dan Bapak sudah menolong saya. Sekarang saya harus segera ke pelabuhan untuk mengirimkan uang ini untuk cucu saya yang kuliah di kota pulau sebelah. Saya pamit sekarang ya Bu, Pak.”

“Sama-sama Kek. Pertolongan ini sesungguhnya dari Allah, kami hanya perantara saja.”

“Alhamdulillah, semoga Bapak Ibu sekeluarga selalu diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Allah SWT.”

“Aamiin ya Rabbal’alamin.” Aku dan suamiku serempak menjawab.

Aku dan suamiku saling menatap dan saling tersenyum mengiringi kepergian kakek itu yang telah membawa dana cadangan yang ku anggarkan sebagai biaya kesehatan kami.

---

“Mbak, ini gaji Mbak Sima bulan ini.” Kataku kepada Mbak Sima sambil menyerahkan sebuah amplop putih di ruang tamu Mbak Sima saat aku hendak menjemput puteriku sepulang kantor sore itu.

“Bu...mengapa Ibu memberikan gaji saya? Saudara saya belum mengembalikan hutangnya, Ibu simpanlah dulu gaji saya sebagai jaminannya.”

“Ambillah Mbak, nanti kalau saudara Mbak Sima mengembalikan baru ku terima.”

“Tapi Bu... Belum ada kepastian dari saudara saya kapan dia bisa mengembalikan. Uang yang didapatkan suaminya kemarin dari pekerjaan menukangnya sudah terpakai untuk membeli kebutuhan anak-anaknya. Saudara saya bilang bulan ini kemungkinan belum bisa membayar, bilapun bulan selanjutnya bisa, mungkin belum bisa membayar penuh. Bolehkah dia mencicilnya Bu?”

“Tentu saja boleh Mbak. Bilanglah padanya untuk mencicil semampunya. Dan gaji ini adalah hak Mbak Sima, ambillah!”

“Baiklah Bu, nanti hutang saudara saya akan dibayar lebih, hitung-hitung sebagai bunga pinjamannya Bu.”

“Apakah kau melihat wajahku ini seperti lintah darat Mbak?”

“Hehe.. Maaf Bu.”

“Tak perlulah memakai bunga, apalagi yang meminjam adalah keluarga.”

Ya, Mbak Sima dan keluarganya sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri, apalagi kami adalah perantau yang tak punya sanak saudara di kota ini.

---

Hari ini adalah hari Sabtu di minggu ketiga bulan Desember, si Kakak terima raport. Suamiku yang pergi menerimanya.

“Mi...Kakak dapat juara satu.” Sebuah pesan whatsapp masuk ke telepon genggamku.

Ini berarti prestasi kakak meningkat karena di kelas satu kakak berada di posisi kedua.

“Assalamualaikum... Mi...lihat ini. Aku juara satu. Ye..ye..ye..ye...” Kakak berlari menghampiriku sambil membawa buku raportnya.

“Coba Ami lihat. Wah...nilai-nilai kakak bagus sekali.” Ku raih buku itu dan ku lihat satu-per satu angka yang tertera di sana.

“Berarti sebentar kita liburan kan Mi? Kita jadi nginap ke hotel kan Mi?”Kakak bertanya sembari menatap nanar kedua mataku.

Mendapat tatapan seperti itu, jantungku seketika berdegup kencang. Jawaban apa yang akan ku berikan pada puteraku. Kami sudah menjanjikannya liburan akhir semester ini sejak beberapa bulan yang lalu. Tapi kini kami sama sekali tak punya dana untuk itu.

“Kak...bisakah Kakak bersabar dulu? Saat ini Ami dan Api belum bisa mengajak Kakak menginap ke hotel. Insya Allah bulan depan, walau sudah tak libur semester, kita bisa pergi di akhir pekan.” Ku pegang kedua bahunya, berusaha meyakinkannya untuk setuju dengan perkataanku.

“Tidak! Ami dan Api sudah janji. Janji itu harus ditepati, tak boleh dilanggar.”

“Ami dan Api takkan melanggar, hanya saja belum sekarang.”

“Tidak!!! Aku tak mau bicara lagi.”

Puteraku yang berumur tujuh tahun itu seketika berlari meninggalkanku. Dia masuk ke dalam kamar, menutup pintunya dengan keras.

“Ya...Allah, ampuni hamba yang telah menyakiti hati putera hamba.” Bisikku di dalam hati.

“Sabar Mi, sebentar lagi ngambeknya pasti berhenti.” Suamiku menghampiriku dan mengusap punggung tanganku.

Cling...cling... Telepon genggamku berbunyi pertanda ada pesan whatsapp yang masuk.

Ku raih gawai yang tergeletak di meja dekatku berdiri dan ku buka isi pesan itu.

“Hai...Mentari. Job buat kamu lagi nih.. Please....bantuin aku ya. Tahun lalu bukan kamu yang handle aku kurang puas nih. Pokoknya kamu harus mau, tidak pakai tidak. File-file utama sudah aku email ke emailmu. Kalau kamu butuh data tambahan hubungi Nia saja ya, sekalian sambil tunggu data transaksi bulan ini. Aku kasih data lebih awal karena aku mau ke luar negeri sama keluargaku, baliknya sampai pertengahan bulan depan. Oh iya, fee-mu aku naikin ya, sekarang jadi enam juta. Sudah ku transfer ke rekeningmu yang biasa dua juta untuk uang muka. Ini bukti transfernya.”

“Subhanallah... Alhamdulillah...” Seketika ku ucapkan dua kata itu hingga membuat suamiku terkaget.

“Kenapa Mi?”, tanya suamiku.

“Bacalah ini Pi.”

Dini teman semasa kuliahku yang mengirimkan pesan whatssapp itu. Dia memiliki sebuah usaha fotocopy, percetakan dan penjualan alat tulis. Sudah beberapa tahun dia meminta bantuanku untuk mengaudit laporan keuangan perusahaannya itu. Kegiatan usahanya memang masih dilakukan dengan sistem akuntansi sederhana, sehingga dia membutuhkan bantuan auditor untuk memeriksa dan mengoreksi pencatatan yang ada untuk memperbaiki kinerja pelaporan usahanya serta untuk kepentingan pembayaran pajaknya. Aku memang bukanlah seorang auditor, hanya saja kemampuan akuntansiku bisa dibilang baik. Tahun lalu aku tak bisa membantunya karena saat itu aku masih sangat sibuk mengurus puteriku yang masih sangat bayi. Dan hari ini Dini menghubungiku, sungguh di luar dugaanku karena biasanya bila akan meminta bantuanku, Dini menghubungiku di awal tahun setelah tutup buku.

“Allah selalu bersama kita Mi.” Suamiku berkata padaku setelah membaca isi pesan itu. Matanya nampak berkaca-kaca.

Ku anggukkan kepala dan ku hambur tubuhnya dengan pelukanku. Bagaimana kami tak bahagia dan bersyukur, kami kini punya uang. Bukan hanya cukup untuk membayar sewa hotel itu, kami bahkan sekarang punya dana cadangan yang jumlahnya lima kali dana cadangan yang ku anggarkan kemarin dan telah ku berikan pada kakek itu.

---

“Surprise... Ye... Kakak kena prank!!!” Aku dan suamiku berteriak setelah membuka pintu kamar sambil membawa sebuah koper kecil.

“Maksudnya?”, si Kakak nampak kebingungan.

“Tadi itu Ami dan Api nge-prank Kakak. Sebenarnya hari ini kita akan liburan ke hotel. Yeee....” Kataku dengan ekspresi menggodanya.

“Benarkah??? Yeeee......”

“Ayo cepat siapin barang-barang. Ayo kakak mau bawa baju yang mana untuk berenang?”

“Yang ini Mi.” Si Kakak berlari membuka pintu lemari memilih-milih pakaiannya.

---

Walau hanya menginap semalam di hotel berbintang itu, anak-anakku terlihat sangat bahagia. Sungguh tak ada kebahagiaan yang melebihi saat melihat anak-anakku bahagia. Minggu sore akhirnya kami sampai kembali ke rumah kami.

“Pak... Bu... Ini ada titipannya.” Pak Sudin tetangga kami tiba-tiba datang menghampiri kami yang hendak masuk ke dalam rumah. Pak Sudin nampak membawa sebuah kantong plastik berwarna hitam yang nampak berisi sesuatu.

“Titipan apa ya Pak?”, tanya suamiku.

“Tadi ada kakek-kakek mau ke rumah bapak, tapi saya katakan bapak dan ibu sedang keluar. Lalu kakek itu menitipkan ini untuk diserahkan ke bapak dan ibu. Oh iya kakek itu juga meminta kertas dan pena untuk menuliskan surat dan dititipkan juga untuk disampaikan ke bapak dan ibu.” Pak Sudin menerangkan sembari menyerahkan bungkusan plastik dan sepucuk surat.

“Oh..iya terima kasih ya Pak Sudin, maaf sudah merepotkan Bapak.” Suamiku menerima bungkusan plastik dan surat itu.

“Sama-sama Pak, kalau begitu saya permisi dulu ya.”

Setelah Pak Sudin pergi kami membuka surat itu terlebih dahulu.

Assalamualaikum

Untuk Bapak dan Ibu yang baik,

Maafkan saya tidak tahu nama bapak dan ibu. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan bapak dan ibu kepada saya. Cucu saya sudah diwisuda. Saya tidak mampu membalas kebaikan bapak dan ibu, tetapi saya selalu berdoa agar Allah senantiasa melimpahkan rahmatnya untuk bapak sekeluarga. Semoga selalu sehat dan diberikan rejeki yang berkah. Aamiin. Ini ada buah mangga yang saya petik dari pohon saya sendiri, hanya ini yang bisa saya berikan. Tolong diterima.

Sekali lagi terima kasih.

Wassalam...

Kakek Musa

Kami membuka bungkusan plastik itu, nampaklah sekantong buah mangga yang ranum. Buah mangga adalah buah kesukaan suami dan puteraku. Terima kasih Kakek.... Dan kini kami tahu namamu adalah Kakek Musa.

SEKIAN

Cerita ini 90% berdasarkan kisah nyata dan selebihnya improvisasi dari penulis.

Terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar