Sabtu, 07 Desember 2019

Menolong Tanpa Batas? (Bagian 2)

Jam dinding menunjukkan pukul 15.30 saat aku masuk ke dalam rumah setelah kepergian kakek itu.
Si kakak rupanya sudah siap untuk berangkat ke tempat les bahasa Inggrisnya. Suamiku pun sudah siap untuk mengantarkannya.
Setelah berpamitan padaku mereka pun pergi.
Ku lihat puteri kecilku masih terlelap dalam tidur sorenya. Ku raih telepon genggamku, rupanya ada pesan whatsapp yang masuk dari adik perempuanku.
"Kak, aku lagi mumet nih. Aku bingung harus bagaimana. Belakangan ini ku perhatikan nenek uring-uringan. Feelingku sih dia lagi tak punya uang. Kakak tau kan penghasilanku berapa, aku yang menanggung kebutuhan rumah, tak mungkin lagi ku tambahkan jatahnya." Begitulah bunyi pesan whatsapp-nya.

Adik perempuanku itu namanya Wulan. Seorang janda beranak dua. Suaminya meninggal setahun silam di usianya yang baru tiga puluh tahun karena sakit. Kedua anaknya lelaki, yang pertama berusia delapan tahun dan yang bungsu seusia puteri bungsuku. Selama ini mereka tinggal di rumah orang tua suaminya di kampung. Setelah suaminya meninggal, Wulan tetap tinggal di sana atas permintaan ayah mertuanya yang ingin tetap dekat dengan cucu-cucunya sebagai pengganti puteranya yang telah tiada.  Sepeninggal suaminya, Wulan yang tadinya hanya menjadi ibu rumah tangga pun harus bekerja. Dengan bekal ijazah D-III keperawatannya Wulan diterima sebagai tenaga kontrak di RSUD dengan gaji enam ratus ribu rupiah per bulan.
Selain itu Wulan kadang mengobati orang-orang yang sakit di kampung itu dengan bayaran seadanya. Dari penghasilannya itu Wulan harus membiayai kebutuhan hidup dirinya, kedua anaknya, nenek kakek (mertuanya) dan seorang adik iparnya yang berusia sepuluh tahun.  Wulan selalu bilang "asal sudah ada beras aku sudah tenang, sayur bisa petik di kebun kakek ala kadarnya, apapun yang bisa dipetik. Ikan disini tak begitu mahal, kadang kakekpun suka memancing ke laut."
Gaji Wulan memang hanya cukup untuk membeli beras dan beberapa kebutuhan lainnya. Seratus ribu rupiah menjadi jatah bulanan nenek (ibu mertuanya) untuk menjaga anak bungsu Wulan saat dia pergi bekerja.

"Tambahkanlah saja jatahnya, mungkin saja ada yang ingin dibelinya. Senangkanlah hati mertuamu supaya dia menjaga anakmu dengan baik. Besok kakak gajian, kakak transfer ke rekeningmu untuk tambahan uang jatah nenek, juga untuk uang jajan anak-anakmu." Ku balas chatting-nya.
---
Pukul 16.30 suamiku bergegas untuk menjemput si kakak dari les bahasa Inggrisnya. Waktu berlalu hingga pukul 17.30.
"Ahh...kenapa lama sekali mereka belum pulang", batinku.
Tak lama kemudian... ""Assalamualaikum..."
Si kakak datang sambil membawa kantong plastik berwarna hitam.
"Waalaikumsalam. Kok baru sampai rumah?"
"Tadi waktu jalan pulang, aku lewat jalan pinggir pantai, rupanya bertemu teman lalu diajak ngobrol dan ditawari minum. Tapi si kakak tak mau lama-lama, jadi kelapa mudanya dibawa pulang saja. Kelapanya dibayarin temanku itu" Suamiku menjawab pertanyaanku.
Kuraih kantong plastik yang dibawa kakak, dua buah kelapa hijau yang telah dikupas kulit luarnya.
"Pi..bukain dong kelapanya, aku mau minum airnya dulu, habis itu belahin ya aku mau makan kelapanya. Tidak usah pakai es dan sirup, aku mau makan begini saja." Si kakak nampak kegirangan sambil menggendong satu buah kelapa itu.

"Ya... Allah... Sungguh Engkaulah sebaik-baiknya penolong. Uang terakhirku yang hendak ku pakai membelikan kakak kelapa muda sudah kuberikan pada kakek itu. Tapi tak Kau biarkan puteraku bersedih. Dia tetap mendapatkan kelapa mudanya." Aku berkata di dalam hatiku sambil tersenyum menatap putera kesayanganku.
Seketika aku teringat perkataan seorang Ustadz yang senantiasa ku dengar tauziahnya di televisi setiap pagi sembari mondar mandir menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke kantor.
"Berilah pertolongan bila ada yang meminta bantuan tanpa harus berprasangka buruk kepadanya. Lakukan pertolonganmu hanya karena dan untuk Allah. Kendatipun orang yang meminta pertolongan mungkin hanya menipu, itu adalah urusan dia dengan Allah."
---
Hari ini tangal satu. Gaji kami sudah masuk ke rekening walaupun ini hari Minggu.
Aku mulai membuat daftar pengeluaranku bulan ini. Jumlah gajiku dan suamiku enam juta tujuh ratus ribu rupiah. Belanja bulanan termasuk susu anak-anak dua juta lima ratus ribu rupiah. Belanja bahan makanan sebulan satu juta rupiah. Bayar listrik dan air empat ratus lima puluh ribu rupiah. Uang saku kakak ke sekolah dua ratus lima puluh ribu rupiah sebulan. Uang jajan aku dan suamiku saat di kantor masing-masing lima ratus ribu rupiah. Kami perlu uang saku untuk membeli cemilan saat sedang bekerja di kantor. Gaji Mbak Sima satu juta rupiah. Ya..tetap ku anggarkan pembayaran gaji Mbak Sima walaupun dia bilang menggadaikan gajinya saat meminjam uang untuk saudaranya. Biarkanlah saat saudaranya itu membayar hutang kepada Mbak Sima baru ku terima. Kalau ku ambil dari gaji Mbak Sima, mau makan apa dia dan ibunya.  Tiga ratus ribu rupiah akan ku kirimkan untuk adikku. Sisanya dua ratus ribu rupiah kujadikan dana cadangan bila sewaktu-waktu kami sakit, kami butuh dana untuk ke dokter. Apalagi saat ini musim panas, anak-anak rentan panas dan batuk.

Dering telepon genggam suamiku mengagetkanku di tengah keasikanku membuat catatan daftar pengeluaran.
"Halo... Gimana Ndra? Apa? Terus gimana? Iya bawa saja ke rumah sakit sekarang. Nanti mas kirim." Tut..tut..tut
"Siapa Pi?" Tanyaku penasaran.
"Indra Mi. Bapak mau dibawa ke rumah sakit, katanya muntah-muntah dan badannya sudah lemas. Tadi Indra telepon sambil nangis-nangis, terus teleponnya putus. Kayaknya dia buru-buru. Mi...kita kirim sejuta ya ke rekening Ibu buat biaya rumah sakit."
Rupanya Indra adik suamiku yang menelepon.  "Ya...Allah semoga Bapak baik-baik saja. Iya Pi segera kirim uangnya."

Satu juta rupiah biarlah diambil dari jatah uang jajanku dan suamiku. Biarlah bulan ini kami menahan sedikit rasa ingin ngemil kami saat di kantor. Tak mengapa asal Bapak segera mendapat perawatan.

"Ayo Mi kita ke ATM sekarang, sekalian kita kirimkan uang Dik Wulan."
"Iya Pi." Ku ambil dompetku, lalu ku gendong puteri kecilku. Sesaat ketika kami akan membuka pintu rumah terdengar suara dari luar.
"Assalamualaikum.... Assalamualaikum."

"Mi....Kakek itu datang lagi!" Suamiku berkata datar namun dengan ekspresi wajahnya yang kaget usai mengintip dari celah jendela.
"Subhanallah..." Ku hanya dapat mengeluarkan kata itu lalu diam terpaku.

Ya...Allah... Apakah Engkau sedang menguji kami. Apakah kakek itu datang hendak menagih perkataanku kemarin? Apakah kakek itu tahu hari ini kami gajian? Kami sudah tak punya kelebihan uang untuk bulan ini. Tak mungkin ku kurangi dari belanja bulanan kami yang sudah kuhitung pas. Harga susu anak-anak tak bisa ditawar. Tak mungkin juga dari uang belanja bahan makanan kami. Anak-anakku masih dalam masa pertumbuhan, mereka butuh asupan gizi yang cukup.  Apalagi uang yang akan ku kirim untuk adikku.  Anak-anaknya yatim, mereka memerlukan bantuanku.  Uang jajanku dan suamiku akan kukirimkan untuk mertuaku.

Ya... Allah... Apakah tak ada batas untuk menolong?

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar