"Tolonglah Bu, kalau tidak melunasi biayanya cucu saya tidak bisa ikut wisuda tahun ini." Kata kakek yang duduk di hadapanku.
"Berapa biaya yang harus dibayar?" Tanyaku pelan.
"Tiga juta lima ratus. Tapi saya sudah punya dua juta sembilan ratus dari menjual ternak saya, kurang enam ratus ribu lagi. Kalau ibu bersedia memberi sisanya, saya akan sangat berterima kasih. Tapi kalau tidak, mungkin setengahnya." Jawabnya dengan mata berbinar.
"Astagfirullah..." Kataku seketika, membuatnya agak terkejut.
Ya, kakek itu hendak meminta, bukan meminjam. Ingatanku kembali ke kejadian empat bulan yang lalu, sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Kala itu aku, suamiku, dan kedua anakku baru pulang berbelanja untuk keperluan lebaran. Ketika hendak masuk rumah, seorang kakek tiba-tiba datang menghampiri kami. Entah dari mana datangnya, sehingga membuatku terkaget.
"Ibu... Tolonglah saya. Berikan saya uang untuk ongkos pulang ke kampung saya."
"Kakek duduklah dulu, tunggu sebentar." Kataku sambil mempersilahkannya duduk di kursi teras.
Ku bawa anak-anakku masuk ke rumah, sedangkan suamiku sempat berbicara sebentar dengan kakek itu.
"Kampung bapak dimana?" Tanya suamiku.
"Di pulau kecil seberang itu." Jawab si kakek.
"Ke pulau itu berapa biayanya? Tanya suamiku lagi.
"Menyeberang dengan perahu speed lima belas ribu. Saya sama sekali tidak punya uang. Tolonglah beri saya lima belas ribu untuk ongkos pulang." Jawab kakek itu lagi.
Suamiku masuk ke dalam rumah, dan berkata padaku, "Berikanlah dia uang, kasihan kakek itu."
Ku buka dompetku, ku hitung lembaran rupiah sisa belanja tadi. Tak mungkin kuberi dia pas lima belas ribu, apalagi besok lebaran. Biarlah ini menjadi hadiah lebaran untuknya, pikirku. Seratus ribu rupiah, aku masih punya sejumlah itu. Ku lipat uang itu sambil tersenyum. Ketika hendak melangkah keluar, ku teringat sesuatu. Ku langkahkan kakiku ke dapur, ku ambil dua botol sirup dan satu pak mie kering. Ku bungkus dengan kantong plastik, lalu berjalan keluar menemui kakek itu.
"Kek, ambillah ini." Kataku sambil menyerahkan uang dan bungkusan plastik itu.
Kakek itu membuka lipatan uang dan menghitungnya.
"Alhamdulillah." Kata kakek itu dengan mata berbinar seolah tak percaya dengan jumlah yang dihitungnya.
"Yang di plastik itu sirup dan mie kering, bisa dimasak jadi mie goreng untuk lebaran besok." Kataku sambil tersenyum.
"Terima kasih Bu. Saya permisi dulu, harus segera karena hari sudah hampir magrib, tak lama lagi waktunya berbuka."
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum mengiringi langkahnya meninggalkan rumah kami.
---
"Assalamualaikum.... Assalamualaikum..." Terdengar suara lirih seorang pria di depan rumah kami.
Suamiku keluar dan menemui tamu tersebut.
"Waalaikumsalam.... Bapak mau bertemu dengan siapa ya?" Tanya suamiku pada pria baya yang berdiri di depannya.
"Saya mau ketemu ibu, pak. Saya mau minta bantuan lagi." Kata kakek itu.
"Maksud bapak, ibu siapa ya? Mau minta bantuan bagaimana ya?" Rupanya suamiku telah lupa pada sosok kakek yang pernah datang empat bulan silam itu.
"Istri bapak pernah memberi saya uang dan makanan. Sekarang saya butuh bantuan lagi, cucu saya mau wisuda dan harus membayar dulu."
Suami saya nampak kebingungan lalu menyuruh kakek itu menunggu dan dia pun masuk ke dalam rumah.
Di dalam kamar dia menceritakan kedatangan kakek itu padaku.
"Apa kita masih punya uang?" Tanya suamiku.
"Seratus ribu." Jawabku.
"Berikanlah saja uang itu, besok kan kita gajian." Kata suamiku, sambil menunjuk kalender yang memperlihatkan hari ini tanggal tiga puluh, dan besok tanggal satu.
Aku mengangguk, ku ambil uang seratus ribu rupiah itu dari dompetku. Ku tatap sesaat, lalu ku masukkan dalam saku celana panjangku. Aku berjalan keluar rumah, sambil membayangkan puteraku si kakak yang ku janjikan minum es kelapa muda di tepi pantai sore nanti sepulang les bahasa inggrisnya. Ahh...semoga saja Miss Tina mengakhiri les lebih sore hari ini supaya aku punya alasan pada si kakak bila hari terlalu sore untuk minum es kelapa.
Teringat si kakak, akupun teringat kejadian hari kemarin. Uang yang ku tabung untuk memenuhi janjiku pada puteraku, liburan ke hotel berbintang yang ada kolam renangnya saat libur semester bulan depan, telah kupinjamkan pada Mbak Sima. Bagaimana mungkin aku tak membantu Mbak Sima, dia menjaga puteriku yang belum genap dua tahun usianya itu dengan baik saat aku kerja.
"Bu...maaf, bisakah ibu membantu saya?"
"Bantu apa mbak, katakanlah?"
"Saudara saya mau meminjam uang pada saya untuk membayar cicilan motornya. Tapi saya tidak punya uang. Dia perlu satu juta, apakah ibu bisa membantu meminjamkannya? Gaji saya bulan depan jadi jaminannya bu."
"Mbak Sima tidak perlu menggadaikan gaji, sebentar ya mbak."
Ku masuk ke dalam kamar, mengambil amplop yang ada di dalam tasku. Ku hitung jumlahnya, genap satu juta rupiah.
---
"Kek, saya hanya bisa memberi kakek segini." Kataku sambil mengambil uang seratus ribu rupiah dari saku celanaku.
"Bu...tambahkanlah lagi. Bila cuma segitu saya harus mencari kurangnya masih banyak lagi."
"Kek, uang yang saya punya sisa ini. Kakek datang di penghujung bulan."
"Baiklah bu, saya terima uangnya. Tapi apa nanti saya boleh datang lagi?"
Ku tarik nafasku, kupahami maksud perkataannya lalu berkata "Tentu boleh, bila ada rejeki lagi tentu kami akan berbagi."
Kakek itu lalu pamit dan berjalan pergi meninggalkan rumah kami. Ku pandangi langkahnya hingga tak nampak lagi dari penglihatanku.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar