Suasana terminal sore itu begitu ramai. Para penumpang hilir mudik menaiki dan menuruni bus. Sebuah bus yang berhenti di terminal itu telah selesai menurunkan seluruh penumpang yang kini telah beranjak mencari jalan tujuannya masing-masing termasuk seorang perempuan yang sedang berjalan dengan tas punggungnya dan hendak mencari angkutan kota. Saat tengah asik berjalan tiba-tiba ia terkaget dan menengok ke arah belakangnya.
"Aww... Aduh... Jambreettt." Seorang wanita paruh baya sedang tersungkur di tanah. Nampak seorang pria baru saja mendorong wanita itu dan lari membawa tas jinjing yang dibawanya.
"Ibu tidak apa-apa?" Perempuan tadi segera mengangkat tubuh wanita paruh baya itu, dengan sigap ia memeriksa gamis panjang berwarna putih bis abu-abu yang dikenakannya, seumpama ada yg robek dan menimbulkan luka di tubuh wanita paruh baya itu.
"Tidak apa-apa Nak. Terima kasih Nak, kamu..."
"Ibu tunggulah sebentar di sini ya, tolong pegangkan tas saya." Belum selesai wanita paruh baya itu berbicara, gadis tadi langsung berlari ke arah penjambret tadi berlari. Ia mengejarnya.
"Hei Nak jangan!!!" Wanita paruh baya itu mencoba menahan kepergian gadis itu, namun usahanya sia-sia.
"Heiiiii jambreeetttt berhenti kau! Kembalikan tas ibu itu." Gadis itu terus mengejar penjambret yang kini telah memasuki sebuah gang kecil. Ia terus berlari tanpa peduli gamis dan hijab panjangnya menyapu debu-debu di jalanan itu.
Gadis itu berhenti saat melihat sebuah balok di pinggir jalan. Diraihnya balok itu dan langsung dilemparkan ke arah penjambret itu.
Buuukkkk!!! Balok itu pas mengenai punggung hingga kepala penjambret itu dan membuatnya terhuyung. Gadis itu segera meraih tas jinjing dari tangan penjambret itu, namun dengan cepat pria itu mencoba menahannya. Tarik menarik pun terjadi, hingga akhirnya pria itu maju dan mendorong tubuh gadis itu.
"Aww... Aduh!" Gadis itu tersungkur di tanah berbatu, ia mendarat dengan lutut hingga gamisnya tersobek dan tembus menciderai tumitnya.
Namun tak pakai lama ia segera bangkit dan kembali menerjang pria yang sudah bersiap untuk lari lagi.
"Toloooongggg. Ada jambreeetttt!" Gadis itu berteriak sambil terus memegangi baju pria itu.
Beberapa pria yang sedang duduk di sebuah warung kopi tak jauh dari tempat gadis dan pria itu berjibaku mendengar teriakan gadis itu. Mereka segera berlari ke arah datangnya suara dan mendapati adegan tarik menarik dan dorong mendorong antara seorang pria dan seorang perempuan. Pria penjambret itu berusaha melepaskan dirinya dari tarikan gadis itu namun gagal, sekelompok pria tadi sudah meringkusnya.
"Heh jambret ya kamu. Berani benar kamu ya!" Seorang pria memukul wajah penjambret itu.
"Aduh, ampun Pak." Penjambret itu kesakitan.
"Jangan dipukul Pak, lebih baik langsung dibawa ke kantor polisi."
"Oh iya Neng, tapi Neng gak apa-apa ya? Terus barang Neng yang dijambret bagaimana?"
"Ini Pak, tas yang dijambret ini, tapi ini bukan punya saya. Ini punya ibu-ibu di terminal. Akan saya kembalikan padanya." Gadis itu sudah menggendong tas jinjing itu.
"Nak... Kamu baik-baik saja? Astaga. Ya Tuhan, apa kamu terluka?" Suara wanita paruh baya membuat semua orang yang ada di situ berpaling padanya.
"Ibu kok bisa sampai ke sini? Saya kan meminta ibu untuk menunggu di sana tadi."
"Ibu tadi berjalan mengikuti arahmu berlari. Syukurlah ibu menemukanmu. Ibu sangat kuatir terjadi apa-apa padamu, makanya ibu berusaha mengejarmu supaya bisa memintamu berhenti mengejar penjambret itu."
"Saya baik-baik saja kok Bu. Ini tas ibu, dan saya akan mengambil tas saya lagi. Terima kasih Ibu sudah memegangkannya."
"Kalau begitu Neng dan Ibu ikut ke kantor polisi karena di sana pasti polisi akan minta keterangan dari kalian." Kata salah seorang pria yang menangkap penjambret tadi.
***
Di kantor polisi mereka semua telah selesai memberikan keterangannya. Gadis dan wanita paruh baya itu kini duduk berdua di ruang tunggu kantor polisi itu.
"Nak coba Ibu lihat lututmu, sepertinya gamismu sobek." Wanita paruh baya itu segera memegang lutut gadis itu dan benar saja gamisnya robek, dan nampak terlihat sebuah luka goresan di lututnya.
Wanita itu pun berlalu ke dalam ruangan kantor polisi itu dan kembali dengan membawa sekotak alat P3K. Dengan telaten diambilnya kapas dan dibersihkannya luka gadis itu lalu diperbannya dengan sentuhan lembut. Hal itu bukanlah hal yang sulit baginya karena kesehariannya ia sudah terbiasa mengurusi orang sakit saat sedang bertugas memberi pelayanan di rumah sakit.
"Siapakah namamu Nak? Mengapa kau menolongku hingga harus mempertaruhkan keselamatanmu sendiri? Apalagi... Kau pasti tahu diriku ini siapa?"
"Maryam. Namaku Maryam. Saya menolong tanpa pernah melihat siapa yang saya tolong. Kedua orang tuaku selalu mengajarkan hal itu. Saya selalu takut bila kehilangan barang karena untuk mendapatkannya tak mudah, makanya saya selalu tidak suka bila melihat ada orang yang mengambil milik orang lain. Saya tahu, ibu seorang suster biarawati?" Maryam berkata sembari mengamati dengan seksama gamis dan kerudung yang dikenakan wanita paruh baya itu lengkap dengan sebuah kalung Rosario yang melingkar di lehernya.
"Maryam? Sungguh nama yang indah, seindah hati dan perilakumu. Iya benar, Ibu adalah seorang suster biarawati. Nama saya Suster Anna Maria."
"Ibu suster mau kemana? Mengapa berjalan seorang diri?"
"Seharusnya Ibu datang ke sini bersama teman-teman Ibu kemarin, tetapi karena masih ada yang harus Ibu kerjakan jadi teman-teman Ibu berangkat duluan, dan Ibu baru bisa hari ini. Kami akan menghadiri misa malam tahun baru di kota ini malam ini. Tapi mungkin inilah yang namanya rencana Tuhan, takdir Ilahi bahwa kita akan bertemu dengan kejadian ini. Dan kamu sendiri, mau kemanakah Maryam?"
"Maryam sedang libur kuliah, jadi mau liburan di rumah Mbak saya di kota ini."
"Oh kamu masih kuliah ya. Ehh tunggu sebentar, gamismu sobek." Suster Anna Maria lalu membuka tasnya dan mengambil sebuah dompet kecil, dibukanya dan nampaklah segulung benang hitam dan sebuah jaruh tertancap di situ. Suster Anna Maria mulai menjahit gamis Maryam yang sobek.
"Terima kasih Ibu Suster." Maryam berdiri mencoba meluruskan gamisnya untuk melihat hasil jahitan Suster Anna Maria. "Aduh aww." Kaki Maryam terasa keram, mungkin karena tadi dia lari sekuat tenaga hingga otot-otot kakinya menegang.
"Kau kenapa Nak? Astaga kakimu pasti sakit karena berlari mengejar penjambret tadi." Suster Anna Maria menengok ke sana kemari. Kantor polisi itu memang sudah tampak sepi, hanya ada seorang polisi di dalam ruangan pemeriksaan tadi dan beberapa orang yang menjaga di luar.
"Duduklah, lepaskan sepatumu dan luruskan kakimu di bangku ini Maryam." Suster anna Maria berkata setelah memastikan tak ada orang di situ.
Maryam pun mengikuti perintahnya, lalu biarawati itu menaikkan sedikit gamis Maryam dan menggulung celana panjang di dalam gamis itu. Diambilnya minyak gosok yang ada di tasnya, di tuangkan ke tangannya lalu mulai memijat kaki Maryam mulai dari pergelangan hingga ke betisnya. Maryam mendesis pelan saat ada rasa nyeri yang dirasakannya, namun sesaat kemudian dirasakannya otot-otot kakinya mulai merenggang kembali. Kini kedua kaki Maryam telah selesai dipijatnya. Biarawati itu kembali merapikan pakaian Maryam lalu membimbingnya untuk kembali duduk. Sesaat kemudian terdengar suara adzan maghrib berkumandang.
"Sudah maghrib, Maryam mau sholat maghrib dulu di mushola samping kantor ini ya Bu Suster." Maryam berkata yang disertai anggukan dari Suster Anna Maria.
Maryam kemudian berdiri, namun saat akan berjalan ia masih merasakan sedikit keram yang masih tersisa.
"Aww..."
"Keramnya belum akan hilang sekarang, tapi setelah kakimu kau istrahatkan Nak."
"Tapi saya harus berjalan ke mushola itu Bu."
"Saya akan membantumu Nak." Suster Anna Maria berdiri di samping Maryam, mengangkat tangannya dan menaruh di pundaknya. Biarawati itu memapah Maryam berjalan hingga ke mushola itu. Membantunya saat berwudhu lalu mengantarkan hingga Maryam memasuki mushola. Maryam pun menunaikan shalat magribnya, sementara sang Suster menunggunya di luar. Setelah selesai, kembali lagi dilakukannya hal yang sama, memapah Maryam ke ruang tunggu kantor polisi itu.
Maryam kembali duduk di bangku dan hendak memakai kembali sepatunya. Namun ia terhentak saat mendapati alas sepatunya kini jebol.
"Astagfirullah.... Ya Allah, bagaimana ini, sepatuku jebol." Maryam memandang penuh ratap sambil mengangkat sepatu kanannya.
Suster Anna Maria pun memandangi sepatu itu. "Rupanya akibat kamu berlari terlalu kencang tadi bukan hanya kakimu yang keram, tapi sepatumu juga Nak."
"Ini sepatu Maryam satu-satunya, sepatu yang menemani saat kuliah dan kemanapun. Bagaimana saya memberitahu bapak dan ibu untuk membeli sepatu baru. Ya Allah, Engkau tahu bapak dan ibu hanya buruh tani dan guru mengaji, harus mengumpulkan uang beberapa bulan dulu untuk membelikanku sepatu baru, apalagi kemarin baru saja membayar SPP-ku." Maryam berkata dengan masih meratapi lubang di alas sepatunya itu.
Suster Anna Maria masih mengamati Maryam dan sepatunya itu. Dia kemudian tersenyum dan bergerak membuka tas jinjingnya. Diambilnya sebuah kotak dari dalamnya yang nampak seperti kotak sepatu. Ya, itu memang sebuah kotak sepatu karena di luarnya nampak sebuah tulisan merek sepatu itu. Sebuah merek sepatu terkenal dan dari kotaknya yang kokoh terlihat bahwa sepatu itu original.
"Berapakah nomor kakimu Nak?"
"38 Bu."
"Wah kok bisa sama ya. Maryam ambillah ini untuk mengganti sepatumu yang sudah rusak itu."
Maryam memandangi kotak sepatu itu, sesaat dia menerimanya lalu membukanya. Sungguh Maryam terkejut melihat sepatu sneaker berwarna putih bergaris abu-abu itu. Sepatu original bermerek ternama itu sungguh sangat bagus.
"Tidak Bu, Maryam tidak bisa menerima ini. Sepatu ini sangat mahal. Menabung setahun pun belum tentu bisa ku beli. Ibu suster pasti telah bersusah payah mengumpulkan uang untuk membeli sepatu ini."
Suster Anna Maria tertawa kecil. "Maryam, apakah kau lupa bahwa dirimulah yang telah berjuang untuk menyelamatkan tasku itu. Sesungguhnya tadi lebih ku ikhlaskan tas itu diambil oleh penjambret itu dari pada melihat seorang gadis harus berlari dan berjibaku dengan seorang penjambret. Namun Tuhan sudah menggariskan takdir pertemuan kita hari ini melalui kejadian itu. Sepatu ini diberikan oleh seorang umat sebagai hadiah tahun baru saat aku hendak berangkat. Karena sudah terburu-buru, tak sempat lagi ku masukkan ke dalam kamar asrama biara, jadi ku bawa ke dalam tas ini. Sesungguhnya takdir pertemuan kita telah membawa sepatu ini pada pemilik sebenarnya. Ini dari Tuhan melalui umat baik yang memberikannya padaku untuk kemudian ku sampaikan padamu. Mengapa sepatu ini lebih pantas menjadi milikmu? Karena kau akan memakai sneaker ini setiap hari, sedangkan saya, mungkin hanya memakainya saat berolahraga saja. Sepatu olahraga saya sudah cukup banyak di biara dan semuanya pemberian dari umat. Sekarang ini adalah milikmu, ambillah."
Suara lembut Suster Anna Maria membuat mata Maryam nampak berkaca. Gadis polos nan baik hati itu mendapat hikmah tersirat dari kejadian hari ini. Dia hanya mencoba untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama dan nasehat orang tuanya. Senantiasa menolong tanpa memandang apapun, semua dilakukan tanpa pamrih semata-mata hanya untuk Allah. Namun Allah tak pernah tidur, Ia selalu melihat dan mendengar. Allah telah mengirimkan sepatu baru untuknya melalui Suster Anna Maria. Orang yang tak dikenalnya, bahkan mungkin tak pernah terlintas di benaknya akan berinteraksi dengan seorang biarawati. Dipandanginya lagi sneaker baru yang ada di tangannya. Sebenarnya sepatu yang dikenakannya tadi memang sudah usang, namun Maryam takut untuk memberitahu orang tuanya. Ia takut menambah beban mereka karena biaya semesterannya saja sudah cukup menguras tabungan mereka. Ia pun tak mau meminta pada kakaknya, Mbak Nur. Selama ini Mbak Nur sudah membantu membayar biaya kosnya. Lagipula penghasilan suami Mbak Nur sebagai karyawan pabrik tak seberapa, mereka punya dua orang anak yang masih SD. Maryam masih mempertahankan memakai sepatu itu, sambil terus berdoa kepada Allah agar diberikan jalan rejeki untuk bisa memiliki sepatu baru. Dan hari ini doanya telah diijabah, tentu saja dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah.
"Alhamdulillahi rabbil 'alamin." Maryam mengarahkan kedua tangannya kepada Suster Anna Maria, yang kemudian disambut hangat dan menjadi sebuah pelukan. Mereka berdua berpelukan beberapa saat hingga sebuah suara mengagetkan dan membuat mereka berpaling ke arah suara itu.
"Maryam."
"Mbak Nur. Syukurlah Mbak Nur sudah datang."
"Kamu tidak apa-apa kan? Mbak panik waktu kamu telepon tadi dan bilang lagi di kantor polisi. Mana Mas Agus belum pulang kerja, jadi Mbak naik taksi online, jam segini kan macet jadi ini Mbak baru sampai. Gimana pemeriksaannya di polisi tadi?" Mbak Nur kakak Maryam datang untuk menjemput Maryam.
"Maryam tidak apa-apa Mbak, hanya luka lecet saja. Pemeriksaannya sudah selesai, paling nanti kalau diperlukan informasi tambahan baru dihubungi lagi sama polisinya."
Mbak Nur lalu melihat ke arah wanita yang berdiri di belakang Maryam. Maryam menangkap sorot mata tanya dari kakaknya.
"Mbak ini Ibu Suster Anna Maria. Ibu suster ini yang tadi dijambret."
Suster Anna Maria mengulurkan tangannya dan disambut oleh Mbak Nur.
"Maryam sudah menolong saya." Suster Anna Maria berkata sembari tersenyum. Mbak Nur pun membalas senyumannya.
"Kalau begitu ayo kita pulang sekarang, hari sudah malam." Mbak Nur berkata pada Maryam.
"Mbak bisakah kita mengantarkan Ibu Suster ke gerejanya dulu?"
"Maryam, tak perlulah mengantarkan ibu, nanti ibu bisa naik taksi sendiri."
"Tidak Ibu Suster, Ibu Suster tak boleh naik taksi sendiri, jangan sampai di jalanan ada penjambret lagi."
Wajah tegang Maryam membuat Suster Anna Maria tertawa.
"Tadi Ibu Suster sudah mengantarkan Maryam menunaikan shalat maghrib. Sekarang biarkanlah Maryam mengantarkan Ibu Suster ke gereja. Bukankah malam ini Suster akan mengikuti ibadah malam tahun baru?"
Suster Anna Maria kemudian menganggukkan kepalanya. "Baiklah Nak. Kamu memang gadis yang sangat baik. Sungguh...sepanjang tahun 2019, hari ini adalah hari terindah yang ku lalui dan cerita hari ini akan ku abadikan di buku harianku sebagai kenangan di penghujung tahun."
"Buku harian? Hmmm... Kalau Maryam akan menuliskan cerita ini di komunitas menulis online yang Maryam ikuti. Semoga saja banyak yang membacanya, like dan komentar. Tapi kalaupun tak ada yang membacanya ya tak apalah, yang pasti cerita hari ini akan selalu ada di hati Maryam."
Mereka bertiga kemudian beranjak keluar dari kantor polisi itu dan menumpangi sebuah taksi online. Taksi itu melaju hingga sampai di depan sebuah gereja. Nampak sudah banyak umat yang memasuki gerbang gereja itu. Suster Anna Maria turun dari taksi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada Maryam dan Mbak Nur. Ia pun melangkahkan kakinya menuju gerbang gereja sampai ia menghentikan langkahnya karena mendengar suara seseorang memanggil namanya dari belakang.
"Ibu Suster... Tunggu!" Maryam berjalan dengan sedikit tertatih mendekati biarawati itu. "Bolehkah kita berpelukan lagi sebelum berpisah?"
"Ya tentu saja boleh Anakku." Suster Anna Maria membuka lebar tangannya dan membiarkan Maryam masuk ke dalam pelukannya.
"Terima kasih Ibu Suster untuk kebaikanmu padaku hari ini."
"Terima kasih juga Maryam. Engkaulah yang telah memberikan kebaikan luar biasa hari ini. Namun dari segalanya, Tuhanlah yang Maha Baik telah mengijinkan hari ini terjadi."
"Subhanallah... Alhamdulillah. Segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah mengijinkan terjadinya hari ini."
"Selamat menyambut tahun yang baru Maryam, semoga berkat Tuhan selalu menyertaimu, membimbing langkahmu senantiasa pada kebaikan yang akan mengantarkanmu pada kebahagiaan sejati."
"Aamiin ya Rabbal 'alamin. Selamat menyambut tahun baru juga Ibu Suster."
Sebuah pelukan perpisahan pun akhirnya mengantarkan Suster Anna Maria memasuki gereja itu. Maryam sendiri telah menaiki kembali taksi online itu. Sebuah senyum manis mengembang di bibirnya. Dipeluknya kotak sepatu yang ada di atas pangkuannya yang di dalamnya berisi sepatu bututnya yang sudah jebol, karena isi asli kotak itu telah menjadi alas kakinya kini. 'Sepatu ini akan ku museumkan, tak akan ku buang, agar saat memandangnya, aku akan terus mengingat hal ini, menolonglah tanpa batas apapun, lakukanlah hanya karena dan untuk Allah.'
Mbak Nur hanya dapat diam memandangi adiknya yang cengar cengir. Seribu pertanyaan ada di benaknya, namun dia tak kuasa mengganggu adiknya yang masih berjibaku dengan alam pikirannya saat ini.
Sekian