Minggu, 20 Juni 2010

Fenomena Anak "Peminta-minta" di Kota Kendari

Setiap kali berada di tempat-tempat keramaian, seperti tempat perbelanjaan atau rumah makan, ada sebuah fenomena yang pasti akan kita jumpai. Sekelompok anak kecil berusia tujuh sampai dua belas tahun siap menghadang atau mengejar-ngejar kita sambil menengadahkan tangan mereka dan berkata "Bu/Pak/Kak minta uangnya!". Fenomena ini pada mulanya biasa terjadi di kota-kota besar yang padat penduduk, tetapi kini fenomena itupun terjadi di kota kecil, seperti kotaku "Kendari".

Aku masih ingat, pada awalnya "peminta-minta" di kota Kendari hanyalah orang-orang cacat yang biasa berada di pasar atau muncul di depan rumah-rumah ibadah pada saat hari raya. Tetapi lama-kelamaan "peminta-minta" semakin menjamur meliputi jumlah dan jenisnya. Jenisnya memang sangat variatif saat ini, mulai dari penderita cacat yang duduk di tempat-tempat tertentu, pria atau wanita setengah baya yang berkeliling ke rumah-rumah untuk meminta beras, pria atau wanita muda yang berkeliling ke rumah-rumah dan perkantoran dengan mengatasnamakan pembangunan rumah ibadah ataupun panti asuhan, dan yang sangat banyak adalah anak-anak kecil yang berhamburan di jalanan. Kita pasti pernah berjumpa dari salah satu atau beberapa jenis "peminta-minta" tersebut. Kadang kala perasaan kesal pun kita rasakan ketika sedang berjalan dan tiba-tiba di hadang atau ditarik-tarik untuk dimintai uang. Memberi sedekah pada yang kurang mampu memang perbuatan yang mulia, tetapi bila dengan cara "dimintai" seperti itu, tidak jarang ada perasaan tidak ikhlas pengaruh rasa kesal tersebut.

Anak-anak kecil yang berkeliaran di jalanan sebagai "peminta-minta" itu pada umumnya ramai pada siang hingga malam hari. Ya...tentu saja karena di pagi hari mereka bersekolah. Lantas, mengapa mereka "meminta-minta"? Apakah orang tua mereka mengetahuinya?
Suatu malam sepulang dari kantor, saya mampir ke sebuah toko. Begitu keluar dari toko itu, seperti biasa beberapa anak kecil menghadang saya sambil menengadahkan tangannya dan meminta uang. Karena tak ingin dikejar-kejar saya pun mengambil beberapa koin dan membagi-bagikannya pada anak-anak itu. Kemudian saya berdiri di depan sebuah toko untuk menunggu angkutan kota ke arah rumah saya. Anak-anak itu masih tampak di situ, mereka masih menunggu pengunjung toko yang keluar ataupun orang-orang yang lewat untuk dimintai uang. Tampak pula sesekali mereka bercanda dan bermain. Kemudian saya memberanikan diri bertanya pada seorang anak. "Siapa namamu?" Anak itupun menyebutkan namanya. Kemudian saya bertanya "Dimana kamu tinggal?" Anak itupun menyebutkan bahwa ia tinggal di kawasan pemukiman yang berada di belakang pertokoan itu. Lalu saya bertanya lagi "Apakah kamu sekolah?" Dan ia menjawab bahwa ia sekolah dan kemudian menyebutkan di kelas berapa ia saat ini. Tak berhenti sampai di situ aku bertanya lagi "Apa orang tuamu tau kamu meminta-minta? Apa mereka tidak mencarimu jam segini belum pulang? Ini sudah malam loh" Dan ia menjawab bahwa orang tuanya tau, dan mereka akan pulang ke rumah kalau suasana sudah sepi atau toko-toko sudah tutup.

Satu pemikiran muncul dalam benakku, bahwa mereka melakukan ini mungkin atas perintah dari orang tuanya. Tapi aku kembali berpikir, mungkinkah ada orang tua yang tega melakukan perintah seperti itu pada anaknya? Sepulang sekolah harus turun ke jalanan hingga malam hari, dan lebih parahnya sebagai "peminta-minta". Lantas kapan anak-anak ini akan punya waktu untuk belajar, mengerjakan pekerjaan rumahnya, ataupun melakukan aktivitas seperti anak-anak seusianya? Namun, pertanyaan itu tiba-tiba terjawab dengan sendirinya saat seorang wanita tiba-tiba muncul, dan salah seorang anak tiba-tiba berlari dan bersembunyi. Wanita tadi seperti berteriak memanggil nama seseorang, dan seorang anak pun berkata padanya "tadi dia ada di sini tante tapi sudah pergi lagi." Wanita itupun berkata "Carikan dia, bilang disuruh pulang sama mamanya, sudah malam." Tetapi wanita itu berkata dengan suara ketus dan raut wajah kesal. Sesaat kemudian anak kecil yang dicarinya pun muncul. Wanita itu dengan ketus memarahinya, dan anak itu tampak takut. Wanita itu bertanya "Mana uangnya?" Anak itupun menyerahkan kaleng berisi uang-uang koin kepada wanita yang disebutnya "Mama" itu. Wanita itu berkata "Dari siang sampai malam begini cuma segini yang kamu dapat?" Anak itupun menjawab "Seharian sepi Ma, pengunjung sedikit." Tetapi tiba-tiba seorang anak lainnya berkata "Ah tante dia bohong tuh, tadi ada kok uang seribuannya." Wanita itu langsung saja menyuruh anak itu mengeluarkan uang yang dimaksud temannya, dan dengan agak takut anak itupun mengeluarkan beberapa lembar uang seribuan yang memang disimpannya. Melihat itu, wanita itu pun memarahi anaknya lebih ketus lagi.

Miris.... Perasaan itulah yang ku rasakan. Seperti hendak menghakimi, dalam hati pun aku berkata "Ibu macam apa ini?" Tetapi ku coba renungkan kejadian itu, ibu itu pasti punya alasan melakukan itu pada anaknya. Ya...tak lain pasti faktor ekonomi. Dan kini, siapa yang harus dipersalahkan??? Jika ditanya, si orang tua pasti hanya menjawab, ini juga karena terpaksa karena kebutuhan yang harus dipenuhi sedangkan penghasilan sangat minim.

Ini adalah fenomena sosial yang tumbuh seperti jamur, berkembang dengan pesat. Masalah kesejahteraan masyarakat seharusnya jadi perhatian pemerintah. Terlebih lagi ini adalah masalah "Hak dan Perlindungan Anak". Jalanan bukanlah tempat seorang anak tumbuh. Jalanan terlalu keras untuk pembentukan mental dan kepribadian seorang anak.

Semoga saja ada jalan keluar untuk masalah ini...

5 komentar:

  1. wah, gimana ya? but nice posting

    BalasHapus
  2. hahaha, memang fenomena yang ironis, berdasarkan UUD 1945, anak2 terlantar dan juga janda2 seharusnya menjadi tanggungjawab negara. Sebenarnya pejabat2 negara kita telah berusaha mengambil peran dalam penegakan UUD tersebut, namun sementara terbatas untuk anak2 terlantar dan janda2 yang masuk dalam kategori "cantik" :)
    maaf bila tidak berkenan....

    BalasHapus
  3. Rey: thankyou

    Tony: wah...doyan janda cantik ternyata ya...:P

    BalasHapus
  4. "Kota kecil seperti kotaku "kendari"."
    memangnya tidak ada kata lain untuk kota kendari yah?
    salut buatmu LILIN sang pemerhati kota.
    Tapi apa daya kalau hanya jejaring sosial seperti ini,harus ada pembenahan sedikit demi sedikit.
    sekali-kali aksi menurut saya tidak apa-apa asal jangan anarkis.karna kalau dikendari kalau kita suarakan besar-besaran tidak ada yang akan dengarin kita.!
    kalau saya komplen sama pemkot atau bahkan ke pemprof sltra,yaitu soal PENGOBATAN GRATIS,RUMAH SAKIT BESAR DAN PELAYANANNYA YANG MEMADAI,TENAGA DOKTER YANG AHLI,SETIAP KECAMATAN ADA PUSKESMAS KELILING YANG GRATIS.
    seperti yang dilakukan di daerah tetangga sul-sel(kota makassar).pengobatan gratis,punya banyak rumah sakit besar,apalagi dokternya yang banyak.wajar karna disana memang ada 3 universitas punya fakultas kedohteran.
    ....
    kita punya rumah sakit propinsi yang merupakan rumah sakit umum,yang kata teman dari sul-sel puskesmas dikampungnya lebih lengkap,lebih bagus pelayanannya.
    ....
    sangat miris rasanya,masa' rumah sakit propinsi diabandingkan dengan puskesmas sih?
    .
    ada tanggapan ngga?

    BalasHapus
  5. Jika mensoroti tentang rumah sakit, jujur saja, secara pribadi jika hendak berobat sy tidak pernah mau ke RS propinsi, sy lebih memilih RS yg lain di kota Kendari. Padahal bisa dikatakan bahwa RS propinsi adlh RS terbesar di Kendari. Selain kelengkapan fesilitas seperti yg anda sebutkan, sy jg mensoroti masalah pelayanan (keramahtamahan). Secara psikologis keramahtamahan dlm pelayanan kesehatan adlh obat yg tak terlihat. Tapi diluar itu, seperti yg kita tahu bahwa RS propinsi yg baru saat ini sedang dibangun, mudah2an sj ke depannya dpt memberikan pelayanan yg lebih baik, ditunjang dgn fasilitas dan tenaga medis yg memadai... Amin

    BalasHapus